Kamis, 19 April 2012

Lokalisasi Perjudian Dan Pejabat Publik

Sungguh menyedihkan bila kita mau menengok ke lingkungan disekitar kita. Begitu maraknya perjudian, begitu jelas dan gamblangnya di depan mata kita, tanpa ada hal yang perlu dianggap malu lagi. Pemerintah, dalam hal ini para pejabat publik yang berwenang, terkesan menutup mata, dengan terus membiarkan keberlangsungan aneka macam perjudian. Bahkan berencana melegalkan perjudian dengan label lokalisasi. Diakui atau tidak, memang ada segelintir pejabat publik yang menikmati uang kotor dari kegiatan perjudian yang ada sekarang ini.
Mungkin para pejabat publik kita sekarang ini terilhami dengan mantan Gubernur Jakarta beberapa tahun yang lalu, yang menjalankan ide dilokalisasinya perjudian. Tujuannya pada saat itu adalah untuk menambah pemasukan kas daerah. Pertengahan tahun 1967, bisnis haram tersebut dilegakan di Jakarta. Berbagai lokasi perjudian dihimpun. Ketika itu sang Gubernur memakai UU Nomor 11 Tahun 1957 tentang hak pemberian ijin judi oleh residen. Logika terbalik yang dipakai oleh sang gubernur. Logika yang dipakai ketika itu adalah untuk menertibkan perjudian liar yang merebak dan tak terkendali maka perlu dilokalisasi, padahal dalam kenyataannya dilokalisasipun perjudian liar tambah merebak. Kebijakan ini banyak dintentang berbagai pihak baik dari pihak masyarakat, tokoh agama, dan lebih ironis lagi tanpa persetujuan DPRD.
Hasil dari kebijakan tadi terlihat dengan derasnya dana haram mengalir ke kas pemerintah daerah, bahkan sampai miliaran rupiah ketika itu. Diberitakan bahwa uang hasil bisnis haram itu digunakan untuk membangun ribuan gedung sekolah, ribuan kilometer jalan raya, pusat kesehatan dan tempat ibadah.
Setelah berlangsung beberapa tahun dilegalkan, kegiatan lokalisasi bisnis haram tersebut pada tahun 1981 resmi dilarang kembali. Langkah ini diambil oleh pejabat gubernur berikutnya, seiring dengan turunnya instruksi presiden yang mengharamkan perjudian di Indonesia.
Dalam melihat masalah lokalisasi perjudian ini, ada baiknya bila kita melihatnya dari sudut pandang beberapa aspek yang mendukung legalitas tindakan seorang pejabat publik dalam bertindak; yaitu aspek legalitas formal, aspek legalitas sosial dan aspek legalitas normatif (Kumorotomo, 1992).
Ditinjau dari sudut pandang aspek legalitas formal, keberadaan perjudian telah dibungkam oleh UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, jadi secara resminya dilarang. Tapi dalam prakteknya, judi gelap, judi kupon putih bisa kita temukan dimana-mana. Belum lagi perjudian terselubung dalam bentuk permainan ketangkasan, pertandingan olahraga di televisi, maupun yang sekarang marak adalah perjudian melalui SMS pada suatu program acara televisi , yang kesemuanya itu mendapat label bukan judi.
Dari kegiatan perjudian yang ada sekarang ini saja, ada beberapa oknum pejabat publik yang menikmati hasil bisnis haram tersebut. Berarti jelas- jelas mereka telah melanggar aturan negara. Memang diakui masih banyak pejabat publik yang tidak pernah menerima uang sogok, uang pelicin dan sebagainya dari hasil perjudian. Tetapi dengan membiarkan perjudian yang ada sekarang sama artinya dengan membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Mungkin seorang pejabat publik yang berwenang berpikir bahwa dia tidak melakukan tindakan yang merugikan negara secara langsung, tetapi baik disadari atau tidak, dia telah melanggar peraturan perundangan yang berlaku, dengan membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Dalam hal ini berarti si pejabat publik itu ikut andil dalam pelanggaran aturan negara dan pemerintah. Dalam hal ini seorang pejabat publik harus bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menjalankan aturan negara dan pemerintah dengan baik dan benar.
Dilihat dari sudut pandang legalitas sosial, pemikiran yang paling sederhana akan mengatakan, bahwa kepercayaan warga negara terhadap pranata-pranata publik adalah hal yang vital di dalam masyarakat yang pemerintahannya berlandaskan pada keabsahan populis. Pada saat sebuah kebijakan meresahkan masyarakat di satu sisi dan menguntungkan pemerintah di sisi yang lainnya, bisa dilihat dari tanda-tandanya terjadinya perubahan opini dalam masyarakat yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat mulai resah dengan pemerintah yang hanya memikirkan kas daerah tapi melalaikan dampak negatif dari kebijakan itu sendiri. Pemerintah terkesan tidak mau tahu dengan rusaknya pranata keluarga sebagai bagian terkecil yang terkena dampak perjudian.
Hampir bisa dipastikan dimana ada perjudian di sana pasti ada minuman keras, dan akan bertambah marak dengan hadirnya PSK. Keadaan disekitar lokalisai perjudian, tentu saja berpengaruh besar terhadap dekadensi moral lingkungan masyarakat disekitarnya. Jika moral masyarakat rusak, apa lagi yang bisa diandalkan dari masyarakat seperti itu. Lambat laun timbul masyarakat yang saling mencurigai satu sama lain (zero trust society), tidak ada yang bisa dipercaya lagi.
Sementara itu jika kita mau ada baiknya kita melihat sudut Legalitas Normatif, dalam melihat masalah kebijakan perjudian ini. Sejenak kita menyimak firman Tuhan berikut ini : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dari perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." (Al Quran S. Al-Maidah: 90-91).
Dan Nabi s.a.w telah bersabda : Seumpama orang main kartu, kemudian ia bangun mau sholat maka ia berwudhu seperti dengan nanah dan darah babi, lalu ia sholat maka tiada akan diterima oleh Allah Ta'ala akan sholatnya itu.
Adapun anggapan para pemain judi itu bahwa ia akan mendapat untung, padahal yang sesungguhnya bahwa perbuatannya akan mendapat kerugian di dunia dan akhirat, dan perbuatan jahat sebagaimana pembuka jalan mencuri dan jalan segala macam kejahatan lain seperti mabuk-mabukan, berzina dan membunuh.
" Dan jikalau penduduk negeri-negeri itu beriman kepada Allah dan mereka bertaqwa, sesungguhnya kami bukakan untuk mereka berbagai berkat dari langit dan bumi. Tetapi merekapun mendustakan, maka kami siksalah mereka dengan sebab apa yang mereka usahakan." (Al Quran Surah Al A`raf :96)
Kalau isi negeri sudah tidak mau memperhatikan peringatan ilahi tentang halal dan haram, tentang yang tersuruh dan yang terlarang, segala pintu dibukakan Tuhan. Uang bisa melimpah ruah , orang kelihatan mewah pada lahir, orang kelihatan gembira, tetapi segala pintu belum tentu halal semua, bahkan banyak pintu dari yang haram. Misalnya terpaksa melokalisasi perjudian untuk mencukupi perbelanjaan daerah atau negara. Padahal dengan kesempatan berjudi dan berzina tersebut banyaklah rakyat yang menjadi miskin dan melarat dan banyak pula pegawai negeri yang menggelapkan negara (korupsi). Apabila berkah dari langit dicabut Tuhan karena kesalahan manusianya maka akan datang azab siksaan, baik lahir maupun batin tertuju pada negeri dimana manusia itu tinggal.
Ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam hubungannya dengan Etika pejabat Publik karena kehidupan pejabat publik tak bisa dilepaskan dari ketiga aspek tersebut apabila salah satu aspek tidak terpenuhi maka pejabat publik tadi akan kehilangan satu pilar pendukung kekuasaan dia apalagi kalau ketiga tiganya tidak mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik tadi.
Maka dari itu agar tidak timbul masalah dengan ketiga aspek tersebut seorang pejabat publik harus arif dan bijak sebelum memutuskan suatu kebijakan publik. Karena kalau dia tidak bijak dalam ber-etika dengan aspek legalitas yang mendukung dia, maka bersiap-siaplah dengan hukuman yang diberikan dari setiap aspek legalitas yang dirugikan oleh kelakuan si pejabat publik tadi. Tetapi pada intinya baik dipandang secara universal maupun transendental, judi adalah suatu bentuk patologi yang senantiasa hidup di dalam kondisi negara dan masyarakat dimanapun. Dan kerusakan yang ditimbulkan dari perjudian itu juga sangat besar, merembet ke berbagai sektor negara dan kehidupan sosial.
Jadi alangkah arifnya, setelah kita menelaah ketiga aspek legalitas tadi, kita dapat dapat mengambil kesimpulan dan mengeluarkan rekomendasi, bahwa tidak akan pernah ada lagi kebijakan yang melegalkan perjudian. Kalaupun ada pendapat yang mengemukakan bahwa lebih baik dilokalisasi daripada liar, pendapat itu tidak bisa diterima. Karena itu merupakan cara berpikir dengan logika terbalik. Sangat rawan resiko konflik sosial jika seorang pejabat publik berpola pikir terbalik seperti ini.

Ahmad Syukri, Flower City, 2001

Tidak ada komentar: