Rabu, 20 Juni 2012

Jenderal dan Panjul

Jenderal: “Banyak muslimah yang tidak memakai jilbab tapi kelakuannya lebih baik daripada yang memakai jilbab”. “Yang memakai jilbab tidak menjadi jaminan kalau dia lebih taat ibadahnya !”
Panjul: ?????
Panjul: "Pak Jenderall punya prajurit kan?
Jenderal: "iya, kenapa ?
Panjul: "Kalau Jenderal mengkomandokan prajurit untuk maju perang, tentulah mereka harus berpakaian militer tempur lengkap dengan senjata dan helm kan?
Jenderal: " Betul, itu harus, kalau nggak mau nurut komando dari jenderal, prajurit itu harus di 'dor' itu hukum militer"?
Jenderal: " Kalau ada prajurit pemberani yang cuma pake kaos dan celana pendek, maju perang, mau jenderal apakan dia "?
Jenderal: " Sudah jelas, walaupun dia pemberani sekalipun, kalau nggak nurut dengan komando dan tidak disiplin di medan perang harus di' dor', itu hukum militer !." "
Panjul : " Memakai jilbab bagi seorang muslimah adalah hukum Tuhan, kalau ada muslimah yang tidak memakai jilbab tapi akhlaknya baik, berarti si muslimah yang tidak memakai jilbab ini harus di’dor’ itu hukum Tuhan.
Jenderal: ???????




Asy 0612

Kamis, 19 April 2012

Lokalisasi Perjudian Dan Pejabat Publik

Sungguh menyedihkan bila kita mau menengok ke lingkungan disekitar kita. Begitu maraknya perjudian, begitu jelas dan gamblangnya di depan mata kita, tanpa ada hal yang perlu dianggap malu lagi. Pemerintah, dalam hal ini para pejabat publik yang berwenang, terkesan menutup mata, dengan terus membiarkan keberlangsungan aneka macam perjudian. Bahkan berencana melegalkan perjudian dengan label lokalisasi. Diakui atau tidak, memang ada segelintir pejabat publik yang menikmati uang kotor dari kegiatan perjudian yang ada sekarang ini.
Mungkin para pejabat publik kita sekarang ini terilhami dengan mantan Gubernur Jakarta beberapa tahun yang lalu, yang menjalankan ide dilokalisasinya perjudian. Tujuannya pada saat itu adalah untuk menambah pemasukan kas daerah. Pertengahan tahun 1967, bisnis haram tersebut dilegakan di Jakarta. Berbagai lokasi perjudian dihimpun. Ketika itu sang Gubernur memakai UU Nomor 11 Tahun 1957 tentang hak pemberian ijin judi oleh residen. Logika terbalik yang dipakai oleh sang gubernur. Logika yang dipakai ketika itu adalah untuk menertibkan perjudian liar yang merebak dan tak terkendali maka perlu dilokalisasi, padahal dalam kenyataannya dilokalisasipun perjudian liar tambah merebak. Kebijakan ini banyak dintentang berbagai pihak baik dari pihak masyarakat, tokoh agama, dan lebih ironis lagi tanpa persetujuan DPRD.
Hasil dari kebijakan tadi terlihat dengan derasnya dana haram mengalir ke kas pemerintah daerah, bahkan sampai miliaran rupiah ketika itu. Diberitakan bahwa uang hasil bisnis haram itu digunakan untuk membangun ribuan gedung sekolah, ribuan kilometer jalan raya, pusat kesehatan dan tempat ibadah.
Setelah berlangsung beberapa tahun dilegalkan, kegiatan lokalisasi bisnis haram tersebut pada tahun 1981 resmi dilarang kembali. Langkah ini diambil oleh pejabat gubernur berikutnya, seiring dengan turunnya instruksi presiden yang mengharamkan perjudian di Indonesia.
Dalam melihat masalah lokalisasi perjudian ini, ada baiknya bila kita melihatnya dari sudut pandang beberapa aspek yang mendukung legalitas tindakan seorang pejabat publik dalam bertindak; yaitu aspek legalitas formal, aspek legalitas sosial dan aspek legalitas normatif (Kumorotomo, 1992).
Ditinjau dari sudut pandang aspek legalitas formal, keberadaan perjudian telah dibungkam oleh UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, jadi secara resminya dilarang. Tapi dalam prakteknya, judi gelap, judi kupon putih bisa kita temukan dimana-mana. Belum lagi perjudian terselubung dalam bentuk permainan ketangkasan, pertandingan olahraga di televisi, maupun yang sekarang marak adalah perjudian melalui SMS pada suatu program acara televisi , yang kesemuanya itu mendapat label bukan judi.
Dari kegiatan perjudian yang ada sekarang ini saja, ada beberapa oknum pejabat publik yang menikmati hasil bisnis haram tersebut. Berarti jelas- jelas mereka telah melanggar aturan negara. Memang diakui masih banyak pejabat publik yang tidak pernah menerima uang sogok, uang pelicin dan sebagainya dari hasil perjudian. Tetapi dengan membiarkan perjudian yang ada sekarang sama artinya dengan membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Mungkin seorang pejabat publik yang berwenang berpikir bahwa dia tidak melakukan tindakan yang merugikan negara secara langsung, tetapi baik disadari atau tidak, dia telah melanggar peraturan perundangan yang berlaku, dengan membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Dalam hal ini berarti si pejabat publik itu ikut andil dalam pelanggaran aturan negara dan pemerintah. Dalam hal ini seorang pejabat publik harus bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menjalankan aturan negara dan pemerintah dengan baik dan benar.
Dilihat dari sudut pandang legalitas sosial, pemikiran yang paling sederhana akan mengatakan, bahwa kepercayaan warga negara terhadap pranata-pranata publik adalah hal yang vital di dalam masyarakat yang pemerintahannya berlandaskan pada keabsahan populis. Pada saat sebuah kebijakan meresahkan masyarakat di satu sisi dan menguntungkan pemerintah di sisi yang lainnya, bisa dilihat dari tanda-tandanya terjadinya perubahan opini dalam masyarakat yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat mulai resah dengan pemerintah yang hanya memikirkan kas daerah tapi melalaikan dampak negatif dari kebijakan itu sendiri. Pemerintah terkesan tidak mau tahu dengan rusaknya pranata keluarga sebagai bagian terkecil yang terkena dampak perjudian.
Hampir bisa dipastikan dimana ada perjudian di sana pasti ada minuman keras, dan akan bertambah marak dengan hadirnya PSK. Keadaan disekitar lokalisai perjudian, tentu saja berpengaruh besar terhadap dekadensi moral lingkungan masyarakat disekitarnya. Jika moral masyarakat rusak, apa lagi yang bisa diandalkan dari masyarakat seperti itu. Lambat laun timbul masyarakat yang saling mencurigai satu sama lain (zero trust society), tidak ada yang bisa dipercaya lagi.
Sementara itu jika kita mau ada baiknya kita melihat sudut Legalitas Normatif, dalam melihat masalah kebijakan perjudian ini. Sejenak kita menyimak firman Tuhan berikut ini : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dari perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." (Al Quran S. Al-Maidah: 90-91).
Dan Nabi s.a.w telah bersabda : Seumpama orang main kartu, kemudian ia bangun mau sholat maka ia berwudhu seperti dengan nanah dan darah babi, lalu ia sholat maka tiada akan diterima oleh Allah Ta'ala akan sholatnya itu.
Adapun anggapan para pemain judi itu bahwa ia akan mendapat untung, padahal yang sesungguhnya bahwa perbuatannya akan mendapat kerugian di dunia dan akhirat, dan perbuatan jahat sebagaimana pembuka jalan mencuri dan jalan segala macam kejahatan lain seperti mabuk-mabukan, berzina dan membunuh.
" Dan jikalau penduduk negeri-negeri itu beriman kepada Allah dan mereka bertaqwa, sesungguhnya kami bukakan untuk mereka berbagai berkat dari langit dan bumi. Tetapi merekapun mendustakan, maka kami siksalah mereka dengan sebab apa yang mereka usahakan." (Al Quran Surah Al A`raf :96)
Kalau isi negeri sudah tidak mau memperhatikan peringatan ilahi tentang halal dan haram, tentang yang tersuruh dan yang terlarang, segala pintu dibukakan Tuhan. Uang bisa melimpah ruah , orang kelihatan mewah pada lahir, orang kelihatan gembira, tetapi segala pintu belum tentu halal semua, bahkan banyak pintu dari yang haram. Misalnya terpaksa melokalisasi perjudian untuk mencukupi perbelanjaan daerah atau negara. Padahal dengan kesempatan berjudi dan berzina tersebut banyaklah rakyat yang menjadi miskin dan melarat dan banyak pula pegawai negeri yang menggelapkan negara (korupsi). Apabila berkah dari langit dicabut Tuhan karena kesalahan manusianya maka akan datang azab siksaan, baik lahir maupun batin tertuju pada negeri dimana manusia itu tinggal.
Ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam hubungannya dengan Etika pejabat Publik karena kehidupan pejabat publik tak bisa dilepaskan dari ketiga aspek tersebut apabila salah satu aspek tidak terpenuhi maka pejabat publik tadi akan kehilangan satu pilar pendukung kekuasaan dia apalagi kalau ketiga tiganya tidak mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik tadi.
Maka dari itu agar tidak timbul masalah dengan ketiga aspek tersebut seorang pejabat publik harus arif dan bijak sebelum memutuskan suatu kebijakan publik. Karena kalau dia tidak bijak dalam ber-etika dengan aspek legalitas yang mendukung dia, maka bersiap-siaplah dengan hukuman yang diberikan dari setiap aspek legalitas yang dirugikan oleh kelakuan si pejabat publik tadi. Tetapi pada intinya baik dipandang secara universal maupun transendental, judi adalah suatu bentuk patologi yang senantiasa hidup di dalam kondisi negara dan masyarakat dimanapun. Dan kerusakan yang ditimbulkan dari perjudian itu juga sangat besar, merembet ke berbagai sektor negara dan kehidupan sosial.
Jadi alangkah arifnya, setelah kita menelaah ketiga aspek legalitas tadi, kita dapat dapat mengambil kesimpulan dan mengeluarkan rekomendasi, bahwa tidak akan pernah ada lagi kebijakan yang melegalkan perjudian. Kalaupun ada pendapat yang mengemukakan bahwa lebih baik dilokalisasi daripada liar, pendapat itu tidak bisa diterima. Karena itu merupakan cara berpikir dengan logika terbalik. Sangat rawan resiko konflik sosial jika seorang pejabat publik berpola pikir terbalik seperti ini.

Ahmad Syukri, Flower City, 2001

Rabu, 18 April 2012

Ya Tarim Wa Ahlaha

Nama kota Tarim diambil dari nama seorang penguasa yang membangun kota tersebut, yaitu Tarim bin Hadramaut. menurut sumber lain dikatan bahwa yang membangun kota Tarim adalah Sa'ad Al-Kamil. Adapun sebutan lain dari kota Tarim adalah Al-Ghanna, yang artinya suatu tempat yang sangat subur. Disebut demikian karena di kota Tarim banyak terdapat tempat-tempat rimbun, banyak pohon-pohon besar yang tumbuh dan banyak pula sumber-sumber airnya.

Kota Tarim disebut juga Madinah As-Shiddiq. Hal ini disebabkan pada saat khalifah Abubakar Ash-Shiddiq meminta sumpah setia penguasa kota Tarim pada saat itu yang bernama Ziyad bin Lubaid Al-Anshory, maka penguasa kota Tarim tersebut memberikan sumpah setianya dan kemudian diikuti oleh semua penduduk kota Tarim tanpa ada yang tertinggal.

Ketika berita ini disampaikan kepada khalifah Abubakar Ash-Shiddiq lewat surat, maka beliau berdoa untuk penduduk kota Tarim dengan 3 macam permohonan :

  • semoga kota Tarim diberi kemakmuran
  • semoga kota Tarim diberikan berkah sumber airnya
  • semoga kota Tarim dipenuhi oleh orang-orang sholeh sampai hari kiamat

As-Syeikh Muhammad bin Abubakar Ba'ibad berkata, "Sesungguhnya Abubakar Ash-Shiddiq r.a pernah memberi doa secara khusus bagi penduduk Tarim." Ketika kisah tadi disebutkan didepan beliau, beliau pernah berkata, "Sungguh amat beruntung penduduk kota Tarim."

Kota Tarim selain amat subur, kota ini juga pusat berkumpulnya wali-wali Allah, ulama-ulama besar, para penulis terkemuka. Kota ini juga merupakan pusat segala ilmu agama, pusat kegiatan tauhid dan keimanan. Pernah dituturkan oleh As-Syeikh Al-'Arif Billah Ali bin Salim, "Sesungguhnya yang berdiri di shof pertama di Masjid Jami' kota Tarim pada saat ibadah sholat Jum'at, semuanya adalah para ulama yang sholeh."

Salah satu keistimewaan kota Tarim adalah kota ini selalu dikunjungi orang dengan maksud yang amat penting, misalnya untuk mengambil barokah, menuntut ilmu, berziarah kepada wali-wali Allah dan bukan seperti kota-kota lain yang dikunjungi orang untuk mencari keuntungan yang bersifat duniawi.

Keistimewaan kota Tarim yang lain adalah disinilah banyak tersebar anak cucu Ahlul Bait Rasullullah SAW. Mereka tumbuh pesat dengan di tanah yang penuh dengan kebaikan, mulia perilaku dan darah keturunan penduduknya. Pernah suatu kali Rasullullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar mencium harumnya karunia Tuhan Yang Maha Pemurah dari Yaman. Berapa banyak mata air kemurahan dan hikmah yang terpencar dari sana." Salah seorang sufi mengatakan bahwa yang dimaksud hadits tersebut tidak lain adalah penduduk kota Tarim.

[Disarikan dari Al-Bidh'at Al-Muhammadiyyah Ath-Thoohiroh, dalam edisi terjemahannya Alawiyyin : Asal Usul & Peranannya, karangan As-Sayyid Alwi bin Muhammad bin Ahmad Bilfaqih, hal. 7-9]

Datuk Siapa Mereka itu?



Dari Kalam Habib Muhammad bin
Hadi Assegaf


Habib Alwi bercerita dalam majelisnya bahwa di Tarim ada seorang pedagang menghadiri majelis yang banyak di hadiri sadah Ba Alawi. Mereka membaca Masyra’ur Rawi.
“Habib fulan dilahirkan di Tarim, hafal Quran, dan hafal ini dan itu, mengerjakan salat sekian rakaat, zikirnya sekian, wiridnya sekian, qiyamul lailnya begini, puasanya sekian. Kemudian Habib fulan, Habib fulan dilahirkan di Tarim, hafal Quran, hafal ini dan itu, mengerjakan salat sekian rakaat, zikirnya sekian, wiridnya sekian, qiyamul lailnya begini, puasanya sekian.” Demikian seterusnya buku itu menceritakan orang-orang yang alim dan saleh dengan amalan yang sangat banyak.
Mendengar ini seorang pedagang bertanya, “Wahai para sadah (keturunan Rasulullah SAW) siapa sesungguhnya mereka itu? Sungguh luar biasa amal mereka”
“Mereka adalah datuk-datuk kami,” jawab para sadah dengan bangga.
“Segala puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan mereka sebagai datuk-datukku. Aku selalu meneladani datuk-datukku. Apa yang mereka amalkan, aku juga mengamalkannya. Lalu siapa di antara kalian yang meneladani datuk-datuk kalian. Kulihat kalian hanya memperbaiki imamah dan pakaian kalian. Kalian tidak menempuh jalan mereka. Di mana maqam kalian dibandingkan dengan maqam mereka. Andai kata mereka adalah datuk-datukku, aku akan merasa sangat malu bertemu manusia.”

Sesungguhnya pedagang itu berbicara tulus untuk memberikan nasihat. Ia tidak seperti penghuni zaman ini, berbicara untuk menghina dan mencela.
Ucapan pedagang itu rupanya menyentuh hati para sadah.
“Sekarang manusia tidak mempercayai kita lagi, sampai-sampai makelar tidak yakin kepada kita,” keluh para sadah.
Mereka lalu mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh 30 orang sadah. Dalam pertemuan itu, mereka berjanji untuk berusaha sekuat tenaga meneladani jalan hidup para salaf mereka.
Karena bersungguh-sungguh, mereka pun akhirnya mencapai apa yang telah dicapai oleh salaf mereka.
Dalam hal inilah hendaknya kita berlomba-lomba, bukan dalam kesenangan yang fana, dan berbagai macam kelalaian lainnya.

Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang besarnya seluasnya langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

(QS Ali-Imran, 3:133)
(I:432)

Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul Asyraf, Kisah dan Hikmah, Putera Riyadi.

Aqidah dan Thariqah Salaf Al-Alawiyyin



Disusun oleh: Allamah Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad,

Mufti Kerajaan Johor Malaysia (1934-1961)

KATA PENGANTAR


بسـم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله سيدنا محمد بن عبدالله وعلى
اله وصحبه ومن والاه

Risalah ini adalah cuplikan (fragmen) dari kitab sejarah dan biografi, ditulis oleh seorang ulama besar, mantan Mufti Kerajaan Johor Baharu Malaysia Allamah Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad. Buku ini membahas tentang sejarah, biografi dan perilaku guru beliau AlHabib Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Athas dengan judul: "Uqud Al-­Almas" (Untaian-untaian intan), Kutipan ini adalah dari jilid I P.65 - 75, terbitan tahun: 1368 H./1949 M.

Pada masa hidup penulis, mulai tersebar di tengah golongan Alawiyin faham Syi'ah Imamiyah, dan mereka menuduh bahwa pendahulu-pendahulu Alawiyin adalah penganut Madzhab Syi'ah Imamiyah.

Oleh karena itu, maka penulis di dalam kitabnya itu merasa perlu membahas dengan agak luas, dasar-dasar Aqidah Alawiyyin sejak nenek moyang mereka hingga sekarang, dengan mengemukakan bukti-bukti dan dalil-dalil yang cukup meyakinkan, kemudian beliau menyanggah tuduhan yang keliru bahwa golongan Alawiyyin sejak dahulu adalah penganut Madzhab Syiah Imamiyah. Sanggahan ini memang sangat perlu karena ada orang-orang, baik dari golongan Alawiyyin sendiri maupun dari luar golongan ini telah mempercayai tuduhan itu, terutama mereka yang kurang luas pengetahuannya tentang sejarah Alawiyyin.

Apa yang pernah terjadi pada masa hidup penulis (Sayid Alwi b. Thahir Al-Haddad) kini berulang lagi, bahkan dengan scope yang lebih luas. Hal itu disebabkan oleh terjadinya revolusi Iran. Revolusi ini telah membuat semua kaum muslimin bangga dan kagum -dan ini wajar- karena pertama kali dalam sejarah modern sejak tumbangnya Khalifah Utsmaniyah di Turki dan gerakan yang berideologi Islam dapat tampil ke permukaan dan berhasil meraih tampuk pimpinan negara. Namun revolusi ini tampil sebagai revolusi Syi'ah dan digunakan sebagai sarana untuk mempropagandakan Madzhab ini dengan program Ekspor Revolusi Islam.

Dengan demikian maka banyaklah di kalangan angkatan muda, orang-orang yang tidak hanya mengagumi dan terpesona oleh revolusi Iran, melainkan telah juga mengikuti faham Syi'ah Imamiyah, meninggalkan Madzhab yang telah mereka ikuti sejak pendahulu-pendahulunya. Golongan Alawiyyin terutama memang sangat mudah untuk dapat dipengaruhi oleh faham ini, sehingga tanpa mempelajari dan mendalami ajaran madzhab ini secara serius mereka telah hanyut terbawa arus meninggalkan madzhab dan perilaku salaf (pendahulu-pendahulu) mereka. Dengan demikian timbullah sempalan baru di tengah umat ini pada umumnya dan di-tengah golongan Alawiyin pada khususnya dan terpisahlah mereka dari "Assawad Al-A'dham", yaitu mayoritas umat ini, yang dipegang teguh dan sangat dipelihara oleh Salaf (pendahulu) kita agar kita tidak terpisah dari mereka, sebab golongan inilah yang ditentukan sebagai "Al-Firgah An-Najiah", yaitu golongan yang selamat di akhirat, sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Dengan timbulnya perpecahan dan perselisihan faham ini kita umat Islam makin menjadi lemah. Maka untuk menyanggah tuduhan bahwa Salaf Alawiyin sebagai penganut Madzhab Syi'ah Imamiyah, perlu rasanya menurut hemat kami untuk menyalin dan menyebar luaskan tulisan seorang tokoh Alawiyin yang sangat ahli dalam bidang sejarah maupun dalam semua cabang ilmu agama dan telah diakui keahliannya oleh semua fihak, baik dalam ilmu maupun dalam perilaku selama hidup. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedudukan tertinggi di sisi-Nya, Amien. Bagian ini disalin dengan harapan semoga kebenaran-kebenaran yang diuraikan ulama besar lagi terpercaya ini dapat meyakinkan hati dan fikiran orang yang semula merasa ragu, baik dari kalangan Alawiyin sendiri maupun dari pihak-pihak lain, untuk kemudian kembali bersatu mengikuti jejak dan langkah Salaf kita yang murni itu.

وَأَنَّ هٰذَاصِرَاطِىمُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْاالسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

"Dan inilah jalanku yang lurus maka ikutilah jalan itu dan janganlah mengikuti jalan jalan yang lain karena jalan jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalannya yang demikian kepadamu agar kamu bertaqwa ".

Penyalin.

AQIDAH DAN THARIQAH SALAF AL-ALAWIYIN

Habib Alqutbh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, berkata:

"Hendaknyalah anda membentengi aqidahmu (imanmu), memperbaiki dan meluruskannya sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh golongan yang selamat di Akhirat (Al-Firqah An-Najiah). Golongan ini terkenal di kalangan kaum muslimin dengan sebutan golongan "Ahlus Sunah Wal-Jamaah". Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rasul Allah dan Sahabat-sahabatnya. Apabila anda perhatikan dengan fikiran yang sehat dan hati yang bersih nash-nash (teks-teks) Al-Qur'an dan Sunnah yang berhubungan dengan keimanan, kemudian anda pelajari perilaku para Salaf baik Sahabat maupun Tabi'in maka anda akan tahu dan yakin bahwa kebenaran akan berada di fihak mereka yang terkenal dengan sebutan Al-Asy'ariyah, yaitu pengikut Abul Hasan Al-Asy'ari, yang telah menyusun kaidah-kaidah (keyakinan) golongan yang berada di pihak yang benar serta telah meneliti dalil-dalilnya. Itu pulalah aqidah yang telah disepakati oleh para Sahabat Nabi serta generasi-generasi berikutnya dari para Tabi'in yang saleh dan itu pulalah aqidah orang-orang yang mengikuti kebenaran di mana saja dan kapan saja. Aqidah dan keyakinan itu juga dianut oleh semua ulama Tasawuf, seperti diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya.

Al-Hamdu Lillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberi kita taufiq dan menjadikan aqidah ini sebagai aqidah kita dan saudara-saudara kita semua Al-Alawiyin, para Sadah Al-Husainiyin (keturunan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib R.A.) serta aqidah datuk-datuk kita sejak Rasul Allah hingga kini.

Imam Ahmad Al-Muhajir kakek para Sadah Alawiyin, yaitu Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Imam Ja'far As-shadiq setelah memperhatikan munculnya berbagai macam bid'ah dan berkecamuknya berbagai macam fitnah serta perselisihan faham di negeri Irak, beliau lalu berhijrah meninggalkan negeri ini berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain hingga sampai ke Hadramaut di Yaman, kemudian beliau tinggal di negeri ini sampai wafat. Maka Allah telah memberkahi keturunannya sehingga terkenallah banyak tokoh dari keluarga ini dalam ilmu, ibadah mari'fah dan kewalian. Mereka tidak mengalami apa yang dialami oleh golongan-golongan Ahlul Bait yang lain dengan mengikuti berbagai bid'ah dan faham yang sesat. Semua itu adalah berkat niat yang suci Imam Ahmad Al-Muhajir yang telah melarikan diri dari fitnah, demi menyelamatkan agama dan aqidahnya dari pusat-pusat fitnah. Semoga Allah membalas jasa baik Imam ini dengan sebaik-baik balasan atas jasa seorang ayah terhadap anak cucunya, dan semoga pula Allah mengangkat derajatnya bersama datuk-datuknya yang mulia di Surga Alliyin serta memberi kita taufiq untuk mengikuti jejak dan langkah mereka dalam keadaan sehat wal'afiat, tanpa merubah atau mendapat coba dan fitnah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Maha Pengasih.

Madzhab Maturidiyah dalam hal ini sama dengan Madzhah Asy'ariyah. Maka setiap orang yang beriman hendaknya membentengi aqidahnya dengan menghafal (mempelajari) salah satu aqidah yang disusun oleh seorang Imam yang telah disepakati keagungannya serta kedalaman ilmunya. Saya rasa orang yang mencari pelajaran aqidah semacam itu tidak akan mendapatkan selengkap dan sejelas aqidah yang disusun oleh Imam AI-Ghazzali r.a. Disamping jauhnya Aqidah ini dari hal-hal yang meragukan serta terhindar dari ungkapan-ungkapan yang bisa menimbulkan salah faham, Aqidah ini telah disampaikan pada bagian awal dari kitab "Qawa'id Al-Aqo'id" dalam kitab Al-Ihya (Ihya Ulum Addin - karya Imam Al-Ghazzali). Maka hendaklah anda menghafalnya (mempelajarinya). Adapun jika anda kurang puas (dengan kitab itu) hendaklah anda mempelajari "Ar-risalah Al-Qudsiyah" yang tersurat pada pasal ketiga dalam Kitab "Ihya" tersebut.

Dalam hal ini, hendaknya anda tidak terlalu berlebihan dalam mempelajari ilmu "Tauhid" serta tidak perlu terlalu banyak memperbincangkannya dengan semata-mata mencari hakikat (kebenaran) tentang ke Tuhanan, sebab anda tidak akan memperolehnya melalui ilmu ini. Adapun jika anda ingin mencapai tingkat ma'rifah, hendaknya anda mengikuti thariqah yang ditempuh para Salaf (pendahulu) kita, yaitu dengan berpegang teguh pada ketaqwaan baik lahir maupun batin, merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi serta riwayat orang saleh, berfikir tentang kerajaan langit dan bumi dengan tujuan mengambil pelajaran dari padanya, mendidik akhlaq serta memperhalus budi yang kasar melalui latihan-latihan rohani (riyadhah), membersihkan cermin kelabu dengan banyak berdzikir, berpaling dari soal-soal yang melalaikan dari hal-hal tersebut. Apabila telah menempuh jalan ini, Insya Allah anda akan mencapai tujuan itu serta rnemperoleh apa yang diharapkan.

Habib Abdullah Al-Haddad banyak menguraikan hal-hal yang kami sebutkan di atas baik dalam kumpulan ceramah-ceramahnya (Majmu' kalamihi) maupun dalam karya-karya beliau yang lain yang telah beliau susun, mereka yang berminat dapat merujuk kepadanya.

Habib Abdullah bin Thahir bin Husain telah pula menguraikan hal yang hampir menyerupai apa yang kami sebutkan tadi, pada sebuah risalah yang telah beliau susun, nukilannya disebutkan oleh Habib Aidarus bin Umar Al-Habsyi dalam kitabnya "Iqdul Yawqid Al-Jauhariyah", sedang Al-Habib Aidarus Al-Akbar cukup menyebutkan aqidah yang disusun oleh Syekh Abdullah bin As'ad Al-Yafi'i dalam bentuk sya'ir (mandhumah).

Dalam beberapa pasal dalam kitabnya, Al-Aydrus menegaskan:
"Barang siapa meyakini hulul (menitisnya Ruh Allah dalam diri makhluk) atau menyatunya Tuhan dengan makhluk (wahdutul wujud), maka orang ini telah menjadi kafir".

Dalam sebagian pasal yang lain beliau menulis:

"Aqidah yang kita anut adalah aqidah Asy'ariyah dan madzhah kita dalam Fiqh (hukum-hukum Agama) adalah Madzhab Syafi'i, sesuai dengan Kitab Allah (Al-Qur'an) serta Sunnah Rasul Allah".

Pada sebagian Risalah yang lain beliau menulis:

"Allah adalah Tuhan yang hidup kekal (hayyun) dan terus-menerus mengurus makhluk-Nya (Qayyum),. Dialah yang mewujudkan segala yang ada". Pernyataan demikian sesungguhnya merupakan sanggahan bagi mereka yang meyakini "Wahdatul Wujud" menyatunya hamba dengan Tuhan, bagi mereka yang mengetahui maksud-maksud filsafah Yunani, India dan Majusi.

Al-Aydrus juga menyatakan:

"Aqidah kita adalah aqidah Asy'ariyah, Hasyimiyah, Syar'iyah, sesuai dengan Madzhab Syafi'i yang menganut Sunnah dan Tasawuf". Beliau sering mengulang-ulang pernyataan semacam ini sehingga cukup meyakinkan. Apa yang kami sebutkan di atas merupakan ringkasannya.

Habib Abdullah Al-Haddad pernah menyuruh muridnya berpegang dengan aqidah yang disusun oleh Imam As-Suhrawardiy dengan judul "A'lamul Huda", dan menyuruh muridnya yang lain menghafal aqidah yang disusun oleh Syekh Abdullah bin As'ad Al-Yafi'i, sesuai dengan apa yang dinukil oleh Habib Al-Aidarus dalam kitabnya "Al-Kibrit Al-Ahmar".

Habib Abdullah Al-Haddad juga telah menyusun aqidah yang ringkas lagi lengkap dimana penulis (Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad) telah menulis pengantarnya, antara lain sebagai berikut:

"Dan kami telah mengawalinya dengan aqidah yang ringkas yaitu aqidah yang para salaf (pendahulu-pendahulu kita) mengajarkannya kepada keluarga, sanak saudara serta para tetangga, baik yang jauh maupun yang dekat, serta orang-orang awam di negeri mana mereka tinggal. Aqidah itu besar pengaruhnya, agung manfa'atnya, bahkan merupakan pusaka iman yang mengandung arti penyerahan dan ketundukan mutlak (Kepada Tuhan) serta penerimaan penuh atas apa yang telah disampaikan oleh Nabi utusan Allah yang mulia S.A.W. berupa ajaran Islam yang suci".

Aqidah ini seluruhnya kami nukil dari kitab "Annash'ih Addiniyah" karya tokoh dari semua tokoh zamannya, Syekh Al-Islam, pembimbing hamba Allah ke jalan yang benar, As-Sayid As-Syarif Al-Arif Billah Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Aqidah ini kemudian kami tambah dengan "Al-Aqidah Al-Jami'ah" juga ditulis oleh beliau dan disampaikan sebagai penutup kitab "An-Nashs'ih Addiniyah". Pada kitab itu Habib Abdullah Al-Haddad menyatakan:

"Penutup kitab ini adalah sebuah aqidah yang ringkas dan sangat bermanfa'at, Insya Allah, sesuai jalan yang ditempuh oleh Al-Firqah An-Najiah (golongan yang selamat di Akhirat), yaitu golongan Ahlussunah Wal Jama'ah, golongan yang merupakan Assawad Al-A 'dham (mayoritas umat ini)"

Aqidah ini juga diikuti oleh "Al-Aqidah Assadidah Al-muafiqah Lil Kitab Wassunnah Al-Hamidah" (Aqidah yang benar sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang terpuji). Semua itu kami nukil dari karya-karya tulis Habib Abdullah Al-Haddad. Semua itu kemudian dihimpun dan diterbitkan oleh cucunda beliau yaitu Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad, dimana terlukis pada pribadi dan budi beliau akhlaqdan budi pekerti luhur para salaf dan nur kerohanian mereka.

Di dalam kitab "Al-Masyra 'Arrawiy" dinyatakan:

Dahulu matahari ilmu dan kewalian, Habib Abdullah Al-Aydrus apabila hendak mengikat janji murid yang hendak mengikuti thariqatnya, beliau menyuruh murid itu supaya terlebih dahulu bertaubat dan beristighfar (mohon ampun) kemudian murid itu disuruh mengatakan: Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah saja satu tiada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul utusan Allah, hari akhirat dan taqdir yang baik dan yang buruk dari Allah. Aku beriman dengan adzab kubur dan kenikmatan di dalamnya, pertanyaan kedua malaikat (Munkar dan Nakir), hari kebangkitan, timbangan, shirat, surga dan neraka. Aku telah ridha (mengakui) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rusul utusan Allah. Aku telah ridha (senang dan puas) engkau sebagai guru dan perantara penunjuk jalan kepada Allah SWT.

Kemudian beliau berkata:

"Dalam soal furu' (cabang agama yang berhubung dengan fiqh) kita menganut Madzhab Imam Syafi'i dan dalam bidang ushul (ilmu yang berhubungan dengan Tauhid dan ketuhanan/aqidah) kita menganut Madzhab Imam Abul Hasan Al-Asy'ari, sedang thariqat kita adalah tharigat ahli-ahli Tasawuf. Demikian pula dinyatakan oleh Al-Quthb Al-Aydrus dalam kitabnya "Al-Juz Al-Latif".

Dalam sepucuk surat yang ditulis oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad kepada saudaranya Al-Habib Hamid yang tinggal di India, beliau menulis:

"Sesungguhnya telah sampai berita kepada kami betapa hebat fitnah yang menyesatkan yang telah terjadi di sana (India), malapetaka dan bencana yang menimpa negeri itu secara terus menerus, serta perselisihan dan perpecahan yang terjadi di antara penduduknya di mana tidak pernah ada kerukunan. Adapun yang lebih buruk dan lebih keji dari semua itu adalah apa yang telah sampai kepada kami yaitu yang timbulnya kebencian terhadap kedua sesepuh Islam (Asy-Syaikhain) Abu Bakar Ashshiddiq dan Umar AlFaruq Radhia Allahu A'nhuma sebagai dianut oleh golongan "Rafidhah" yang tercela, baik ditinjau dari segi syari'ah, maupun menurut akal sehat. 'Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji'un. Hal ini merupakan musibah yang besar dan malapetaka yang sulit dihilangkan"

Dalam sepucuk surat lain kepada salah seorang muridnya, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menulis:

"Apa yang anda sebutkan sehubungan dengan kitab "Al-Fusshul Al-Muhimmad" tentang manaqib (biografi) kedua belas Imam, adalah kitab yang baik dan tidak mengapalah bagi seorang untuk membacanya. Kami telah mendapatkan dan membaca kitab itu. Penulisnya adalah dari golongan Ahlusunnah Wal Jama'ah. Menulis secara khusus tentang manaqib mereka tidaklah menunjukkan maksud tertentu. Imam Ibnu Hajar juga telah menulis tentang manaqib mereka dalam kitabnya "Asshaqa'iq Al-Muhriqah" dan memuji mereka. Menyebutkan Madzhab atau faham lain tidaklah berarti keharusan mengikuti Madzhah atau faham itu. Adalah merupakan kebiasaan para pengarang dan para ulama untuk menyebutkan dan menukil Madzhab-madzhab lain dan mengutip ucapan-ucapan mereka, baik yang sejalan maupun yang bertentangan dengan mereka, sedang tokoh-tokoh yang disebutkan riwayat hidupnya dalam kitab itu tergolong pembesar-pembesar salaf yang saleh dan Imam-Imam dalam agama. Adapun yang terlarang dan tidak dapat dibenarkan adalah (berkeyakinan) membatasi hak menjabat kedudukan Imamah hanya pada mereka saja, seperti dinyatakan oleh golongan yang bertentangan dengan kita. Semoga Allah memberi taufiq pada kita semua dan menjadikan kita di antara orang-orang yang diberi petunjuk kepada kebenaran dalam soal-soal yang diperselisihkan orang"

Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah Al-Haddad menulis sebuah komentar bait syair datuknya Habib Abdullah Al-haddad, berikut:

وَالْمَذْهَبُ الْمُسْتَقِيْمُ أَسْلُكُهُ نَصَّ الْكِتَابُ وَصَرَّحَ الْخَبَرُ

"Madzhab yang lurus aku ikuti sesuai Kitab Allah dan Sunnah Nabi".

Habib Ahmad tersebut menulis "Mudzhab lurus yang dimaksud adalah Madzhab Ahlussunah Wal Juma'ah, aku mengikuti Madzhab itu seperti bapak-bapakku dan kakek-kakekku dan Nabi Muhammad, Ali, Hasan dan Husain sampai pada seluruh salaf Al-Alawiyin."

Guru besar kami Habib Muhsin bin Alwi Assegaf dalam kitabnya "Ta'rif Al-Khalaf Bi Sirat Al-Salaf" telah menulis pernyataan yang hampir sama dengan yang apa yang kami kemukakan tadi. Kemudian beliau mengutip dari kitab "Ghurar Al-Baha' Al-Dhawi" karya ulama ahli Hadits terkenal Allamah Sayid Muhammad bin Ali Kharid Al-Alawi Al-Husaini sebagai berikut:

Sayid Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa beserta anak cucunya mereka adalah para Syarif keturunan Imam Al-Husain yang hidup di negeri Yaman (Hadramaut). Jarang ada orang seperti mereka, Tharigah para Syarif ini adalah Madzhab Ahlussunah Wal Jama'ah, akhlak mereka mengikuti akhlak Nabi. Orang yang insaf dan sadar akan mengakui bahwa mereka benar-benar para Sayid dan tokoh-tokoh mulia, budi luhur. Habib Muhsin tersebut kemudian mengutip dari Habib Abdullah Al-Haddad, katanya:

Ada dua orang yang sangat besar jasanya terhadap keluarga Al-Ba'alawi, yaitu:

  1. Sayidina Ahmad Al-Muhajir bin Isa yang telah membawa mereka keluar meninggalkan fitnah dan bid'ah (di negeri Irak) dan membawa mereka hijrah ke negeri Yaman (Hadramaut).
  2. Al-Fagih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali yang telah membebaskan mereka menyandang senjata sehingga mereka dapat berkonsentrasi untuk ilmu dan da'wah.

Para salaf dahulu melarang orang mendalami tauhid. Mereka menerima ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi SAW. yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT. serta ayat-ayat mutasyabihat lainnya dengan penyerahan bulat-bulat, tanpa rnempersoalkannya secara njelimet disertai pensucian bagi Allah dengan sesuci-sucinya dari segala sifat kekurangan dan cela seraya mengagungkan-Nya dengan seagung-agungnya.

Habib Abdullah Al-Haddad berkata:

"Kita berpegang dengan ajaran-ajaran Imam Al-Asy'ari karena beliau berpendirian: Beriman kepada Allah, kepada ayat-ayat Allah, kepada para Rasul utusan Allah sesuai apa yang dimaksud dan dikehendaki oleh Rasul Allah". Demikian kurang lebih ucapan beliau yang masih dapat kami ingat.

Dalam kitab "Al-lbanah" karya Imam Al-Asy'ari yaitu sebuah kitab yang membahas soal-soal aqidah lengkap berdasarkan aqidah yang menjadi pegangan salaf, baik para Sahabat maupun para Tabi'in, Imam Asy'ari menulis:

"Ringkasan pendirian kami adalah: Kita mengakui Allah, mengakui para Malaikat, Kitab-kitab (suci), Rasul-rasul serta ajaran yang mereka sampaikan dari Allah, serta riwayat-riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang terpercaya dari Rasul utusan Allah, semua itu tidak ada sedikitpun yang kami tolak. Kita juga tidak mengada-ada dalam agama Allah sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah (yakni sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam agama), atau mengatakan sesuatu terhadap Allah yang tidak kami ketahui hakikatnya".

Kata beliau pula:

"Al Qur'an kita terima sesuai dengan arti yang tersurat, kita tidak dapat mengartikan lain kecuali dengan hujjah (dalil) yang jelas".

Anda juga hendaknya berkeyakinan bahwa apa yang dinyatakan oleh para Salaf (pendahulu-pendahulu) kita bahwa sejak datuk-datuk mereka hingga kini mereka adalah penganut Madzhab Ahlussunah Wal Jama'ah adalah nyata dan benar, tidak dapat dita'wilkan atau ditakhsiskan dan tidak dapat pula disanggah oleh mereka yang hendak menyanggah, atau kritik dan pendustaan orang-orang yang kebelinger, dan bahwa apa yang dinyatakan mereka itu benar-benar diterima oleh mereka secara turun-temurun dari kakek kepada cucu dan ayah kepada anak serta dari mereka yang terdahulu kepada mereka yang datang kemudian, dikuatkan pula dengan kutipan-kutipan yang jelas melalui silsilah riwayat (sanad) sesuai kaidah-kaidah ilmu Hadits. Ulama Ahlul Bait menerima ilmunya dari para Sahabat dan Tabi'in, para Sahabat dan Tabi'in juga menerima ilmunya dari Ahlul Bait. Seperti diriwayatkan dalam kitab:

ثناءالقرابة على الصحابة وثناءالصحابة علىالقرالبة

Pujian Kerabat Nabi terhadap para Sahabat dan pujian para Sahabat terhadap Kerabat Nabi

Al-Hafidh Abu Nu'aim meriwayatkan dalam kitabnya "Hilyalul Aulia" (Hiasan para wali), dengan sanadnya dari Imam Ali Zainal Al-Abidin putra Imam yang sahid Husain, Cucunda Rasul Allah salawat dan salam atas datuk mereka dan atas mereka semua, beliau berkata:

"Telah datang kepadaku, segolongan penduduk negeri Iraq. Mereka mencela Sahabat-sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman. Setelah selesai memaki-maki, Imam Ali Zainal Abidin balik bertanya kepada mereka: "Maukah kalian menerangkan kepadaku, apakah kalian termasuk orang-orang yang melakukan hijrah pada tahap awal (Al-Muhajirun Al-Awalun) karena diusir dari kampung halaman mereka serta menuntut anugrah dari ridha Allah dan Rasul-Nya, sedang mereka itulah orang-orang yang benar!" Mereka menjawab "Bukan". Imam Ali Zainal Abidin kembali bertanya: "Adakah kalian penduduk negeri Madinah yang telah beriman (Kaum Anshar) sebelum datang kaum Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka dan tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin, serta mengutamakan kaum Muhajirin itu daripada diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan? Dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung? Apakah itu kalian?" Mereka kemudian menjawab: "Bukan". Ali Zainal Abidin kemudian berkata: "Kini kalian telah mengakui tidak termasuk kedua golongan yang disebutkan Allah dalam kedua ayat itu. Aku juga bersaksi kalian tidaklah termasuk golongan yang disebutkan dalam ayat ini. Dan mereka yang datang kemudian sesudah mereka itu berdo'a: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah dahulu beriman dan janganlah engkau biarkan kedengkian (bersemayam) di dalam hati kami terhadap orang-orang yang telah beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Maha Penyayang". Enyahlah, kata Imam Ali Zainal Abidin, Semoga Allah menindak kalian."

Diriwayatkan pula dengan sanadnya kepada Yahya bin Sa'id, katanya: Saya mendengar Ali bin Husain menjawab pertanyaan orang-orang yang datang mengerumuninya (katanya):

"Cintailah kami sesuai dengan ajaran Islam, semata-mata untuk Allah. Sesungguhnya makin lama cinta kalian (yang melampaui batas ini) malah menjadi a'ib yang memalukan bagi kami". Demikian itulah sebagian pernyataan yang diriwayatkan dari Sayidina Ali Zainal Abidin Ibn. Al-Husain.

Abu Na'im juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja'far Muhammad Al-Bagir, putra Imam Ali Zainal Abidin melalui Urwah bin Abdillah katanya:

Saya bertanya kepada Abu Ja'far (Al-Bagir) tentang hukum menghias pedang. Beliau menjawab: "Tidak mengapa (boleh) Abu Bakar Ash-Shiddiq dahulu menghias pedangnya." Saya berkata: "Engkau juga mengatakan Ash-Shiddiq?" Beliau (Abu Ja'far) meloncat lalu menghadap ke kiblat dan berkata: "Benar Ash-Shiddiq, dan barang siapa tidak mengatakan Ash-Shiddiq, Allah tidak akan membenarkan ucapannya baik di dunia maupun di akhirat".

Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Jabir, katanya:

Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin berkata kepadaku: "Hai Jabir, aku mendengar ada segolongan orang Iraq beranggapan bahwa mereka cinta kepada kami (Ahlul Bait) dan mencela Abu Bakar dan Umar, Raddhi Allahu Anhuma. Mereka juga beranggapan akulah yang menyuruh mereka berbuat demikian. Maka sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri (bari') terhadap apa yang mereka lakukan. Demi Allah yang jiwa Muhammad (Al Bagir) ada di tangannya kalau sekiranva aku berkuasa niscaya aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah mereka. Dan semoga aku tidak mendapat syafa'at Muhammad SAW. jika aku tidak memohonkan ampunan dan rahmat bagi mereka, akan tetapi musuh-musuh Allah senantiasa lalai terhadap keduanya".

Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Syu'bah Al-Khayyath, bekas sahaya (maula) Jabir Al-Ju'fi, katanya:

"Abu Ja'far Muhammad bin Ali Zainal Abidin berkata kepada saya ketika kami sedang berpamit kepada beliau. Sampaikan kepada penduduk negeri Kuffah (salah satu kota di Iraq): "Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap mereka yang tidak mengakui kebenaran Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Radhi Allahu A 'nhuma".

Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Abu Ishaq dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali Zainal Abidin, katanya:

"Orang yang tidak mengakui jasa Abu Bakar dan Umar sesungguhnya orang ini tidak mengakui sunnah".

Ibnu Fudhail meriwayatkan dari Salim bin Abi Hafshah, katanya: "Saya bertanya kepada Abu Ja'far Muhammad Al-Bagir dan putranya (Ja'far Asshadiq) tentang Abu Bakar dan Umar. Mereka menjawab:

"Akuilah dan cintailah keduanya serta berlepas dirilah dari musuh-musuh mereka, sesungguhnya keduanya adalah Imam-imam yang mengikuti kebenaran". Al Hafidh Ad-Dzahabi menyatakan bahwa sanad riwayat ini shahih. Ibnu Fudhail dan Salim adalah tokoh-tokoh Syi'ah yang benar.

Adapun Imam Ja'far Asshadiq, maka Al-Hafidh Ibnu Hajar menyatakan, dalam menulis riwayat hidupnya:

Ali bin Al-Ja'ad meriwayatkan dari Zuhair berkata kepada Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad:

"Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang beranggapan bahwa engkau berlepas diri (tidak mengakui dan tidak mencintai) Abu Bakar dan Umar". Abu Abdillah Ja'far berkata: Semoga Allah melalaikan orang itu (menjauhkan dia dari rahmat-Nya). Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan adanya hubungan kekerabatan antara aku dengan Abu Bakar".

Hafsu Ibnu Ghiats berkata:

"Saya mendengar Ja'far Asshadiq bin Muhammad Al-Bagir berkata: "Tiadalah aku mengharap syafa'at dari Ali melainkan aku mengharap syafa'at serupa pula dari Abu Bakar"

Salim bin Abi Hafshah berkata:

"Saya mendatangi Ja'far bin Muhammad, menjenguk beliau ketika sedang sakit, Ja'far berkata: "Ya Allah sesungguhnya aku mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengakui mereka sebagai pemimpin. Ya Allah, jika sekiranya di dalam hatiku ada perasaan selain yang demikian, maka semoga aku tidak mendapat syafa'at Nabi Muhammad SAW". Salim ini adalah seorang yang dapat dipercaya (thigah), hanya saja dia seorang Syi'ah yang ekstrim membenci kedua sesepuh (Assyaikhain) Abu Bakar dan Umar". (Penulis buku ini Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad memberi komentar sebagai berikut: Keterangan terakhir yang menyatakan bahwa pembawa riwayat ini adalah seorang Syi'ah yang ekstrim malah dapat menjadi bukti yang kuat atas kebenaran riwayat ini, karena dia meriwayatkan sesuatu yang dapat menjadi alasan yang kuat bagi mereka yang bertentangan dengan dia, lagi pula dia meriwayatkannya dari Imam Ja'far Asshadiq yang diakui sebagai salah seorang imamnya. Demikian Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad).[1]

Abbas Al-Hamdzani meriwayatkan katanya:

"Ketika kami akan pergi meninggalkan kota Madinah, Imam Ja'far Asshadiq bin Muhammad Al-Bagir datang kepada kami dan berkata "Kalian Insya Allah tergolong orang-orang terbaik di negeri kalian, maka hendaklah kalian sampaikan kepada penduduk negerimu dari aku (Ja'far Asshadiq) hal-hal sebagai berikut: Barang siapa beranggapan aku ini sebagai Imam yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri dari orang itu dan barang siapa beranggapan aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar dan tidak mengakui rnereka sehagai khalifah yang sah, maka aku berlepas diri dari padanya".

Dalam kitab Masyra' Arrawiy diriwayatkan:

"Ada orang bertanya kepada Ja'far Asshadiq (katanya) ada segolongan orang beranggapan, orang yang mengucapkan talak (cerai) tiga sekaligus tanpa pengetahuan, maka talak itu dikembalikan kepada sunnah menjadi satu talak dan mereka rneriwayatkan dari anda ". Imam Ja'far Asshadiq menjawab: "Semoga Allah melindungi kami (dari hal itu), Kami tidak pernah berkata demikian. Barang siapa mengucapkan talak tiga (sekaligus), maka berlakulah apa yang diucapkannya".

Penulis (Habib Alwi bin Thahir) berkata:

"Imam Annaqib Muhammad bin Ali Uraidhi pernah juga ditanya tentang hal semacam itu dan juga memberi jawaban sama dengan jawaban datuknya. Drngan soal-soal semacam ini dan soal-soal lain orang dapat mengambil kesimpulan bahwa beliau tidah tergolong pengikut Madzhab Syi'ah Imamiyah (yang berpendirian bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus dihitung satu talak) seperti mereka yang mendasarkan pendapatnya pada perkiraan dan dugaan semata.

Hal itu diriwayatkan oleh Muhammad bin Manshur Al-Kufi Al-Muradi dengan sanadnya kepada Imam Ja'far Asshadiq melalui riwayat Husain bin Zaid bin Ali dari Imam Ja'far. Juga melalui riwayat Abu Dhamrah, Hatim, Abu Hamzah, Ibrahim bin Yahya dan Assariy bin Abdillah Assulami serta Muhammad bin Ali bin Ja'far, berkata: "Muhammad bin Ja'far telah meriwayatkan kepadaku dari ayahnya Abu Ja'far, bahwa seseorang bertanya kepadanya, katanya dia telah menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Beliau menjawab: "Engkau telah melakukan kesalahan dan bertanggung jawab atas kesalahan itu. (yakni talak itu berlaku)".

Orang yang dimaksud dengan Muhammad bin Ali adalah Muhammad Al-Azraq, kakek Imam Ahmad Al-Muhajir, dan Muhammad bin Ja'far adalah paman Muhammad bin Ali ini, terkenal dengan julukan Addibaj. Beliau inilah yang pernah dibai'at sebagai khalifah pada masa berkecamuknya perang saudara antara Amin dan Ma'mun (putra-putra Harun Al Rasyid). Keponakannya Muhammad bin Ali Uraidhi yang terkenal dengan julukan Al-Azraq adalah di antara orang-orang yang telah membai'atnya, demikian pula saudaranya Ali Al-Uraidhi. Muhammad bin Manshur berkata: "Abu Kuraib meriwayatkan kepada kami dari Hafzh bin Ghiats katanya: "saya mendengar Ja'far bin Muhammad berkata: "barangsiapa mengucapkan talak tiga, maka akan berlaku baginya talak tiga. Itulah pendirian kita Ahlul Bait. Barangsiapa mengucapkan talak tiga akan jatuh tiga".

Muhammad b. Manshur berkata: "Saya bertanya kepada Ahmad bin Isa bin Zaid, tentang seseorang yang mengucapkan talak tiga terhadap istrinya. Ahmad bin Isa menjawab: "Berlakulah talak itu dan bercerailah dia dari istrinya. Kita tidak berpendirian seperti golongan Rafidhah ".

Semua riwayat tersebut bersumber dari kita "badai'il Anwar Fi Ikhtilafi U'lama'i Ahlil Bait" karya Muhammad bin Manshur Al-Muradi.

Mengapa soal Aqidah ini diuraikan secara panjang lebar?

Mungkin ada orang yang merasa heran membaca apa yang telah kami tulis disini tentang Aqidah para Sadah Al-Alawiyin, sebab hal itu merupakan sesuatu yang sudah banyak diketahui orang. Tersurat dalam karya-karya tulis dan biografi mereka baik yang ditulis oleh mereka sendiri maupun oleh orang lain yang bertindak menguraikan ihwaql dan perilaku mereka.

Perlu kami kemukakan di sini, bahwa yang menjadi sebab mengapa kami berbuat demikian (menulis tentang aqidah para Sadah Al-Alawiyin), ialah bahwa pada zaman ini, zaman yang penuh dengan hal-hal aneh dan ganjil - ada tokoh tertentu yang bertindak melakukan pembelaan terhadap golongan Imamiyah dan Madzhabnya serta menyanggah golongan Ahlussunah Wal Jama'ah, demi untuk membela Madzhab mereka, bahkan juga telah menyanggah golongan Syi'ah Zaidiyah, karena perselisihan yang terjadi sejak dahulu di antara kedua golongan Syi'ah tersebut. Menurut golongan Imamiyah - atau sebagian mereka- golongan Zaidiyah ini adalah golongan yang wajib lebih dahulu diperangi sebelum orang-orang kafir, sesuai penafsiran bagi ayat ini:

ياايّهاالذين امنوا قاتلوا الذين يلونكم من الكفّار وليجد وافيكم غلظة

"Hai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir di sekitarmu dan hendaknya mereka mendapatkan kekerasan dari padamu".

Maka demi memenuhi perintah untuk bertindak keras, mereka telah membunuh anak-anak dan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam peperangan, persis yang pernah dilakukan oleh golongan Khawarij.

Itulah salah satu sebab yang menimbulkan bencana dan pemberontakan secara beruntun dan terus menerus di negeri Yaman -karena adanya golongan Imamiyah di Harran, di Najran dan di Aden, disamping beberapa tempat yang lain. Oleh karena itu, maka tokoh pembela golongan Imamiyah ini telah secara suka rela melakukan tindakannya itu dalam membela mereka dari golongan Zaidiyah disamping golongan Asy'ariyah, bahkan dia telah melakukan tindakan yang tidak patut dilakukannya, yaitu menjauhkan para pendahulunya (Salaf) dari Aqidah dan Thariqah yang benar, dengan mengatakan mereka sejak semula adalah penganut Madzhab Imamiyah alias "Rafidhah".

Golongan Imamiyah ini adalah golongan yang berpendirian bahwa sebagian besar sahabat Nabi SAW, - kecuali beberapa saja- telah menjadi fasiq bahkan telah menjadi kafir, serta menganggap bahwa sebagian Ahlul Bait telah menjadi fasiq dan kafir. Dengan demikian mereka telah menolak riwayat yang tegas lagi benar dan telah diriwayatkan oleh sebagian besar ahli-ahli sejarah bahwa mereka bukanlah penganut Madzhab Imamiyah, dia menyanggah anggapan yang tidak dapat diterima ini dengan angan-angan yang bertolak belakang dengan kenyataan, serta dengan rekaan yang tidak benar lagi tidak terpuji, dan usaha coba-coba yang dinilai dengan pikiran yang sehat, bukti dan fakta yang kuat, tidaklah digolongkan sebagai kebenaran.

Rupanya orang ini telah tertipu oleh propaganda golongan Imamiyah yang ekstrim tanpa meneliti fakta yang tersembunyi dibalik permukaan dan tanpa pendalaman dengan akal sehat secara semestinya.

Golongan Imamiyah termasuk diantara golongan umat ini yang telah terpecah­-pecah dan tercabik-cabik, sehingga ada yang menyatakan bahwa pecahan-pecahan itu telah mencapai lebih dari tujuh puluh golongan. Ditengah-tengah golongan ini telah timbul berbagai faham yang tidak pernah terdengar kekejian semacam itu pada golongan-golongan lain, seperti menitisnya Roh Allah pada sebagian makhluk (hulul), faham reinkarnasi (tanasukh Al-Arwah), adanya faham Raj'ah (kebangkitan kembali orang yang telah mati sebelum kiamat), menafsirkan arti syari'at yang tegas dengan tafsiran-tafsiran yang membatalkannya. Mereka balik perintah agama dengan meninggalkan perintah itu dan menjalankan larangan-larangan-Nya. Menganggap semua benda yang berbentuk sebagai bernyawa. Mena'wilkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan penafsiran yang tidak berdasar, memberikan pangkat ketuhanan pada sebagian Imam-Imam mereka. Tidak berlakunya sebagian kewajiban agama atas mereka. Batalnya hukum-hukum dan amalan. Di tengah mereka telah muncul golongan­ golongan Majusi yang berkedok Islam dan menyembunyikan kekafirannya dan para Dajjal yang menipu atas nama agama. Di tengah mereka telah muncul pula golongan yang berfaham Wahdatul Wujud (Pantheisme). Mereka mengakui reinkarnasi dengan berbagai tingkatannya seperti yang diyakini oleh sebagian faham Majusi[2].

Golongan Imamiyah telah menyatakan faham-faham yang aneh sejak zaman Imam Ja'far Asshadiq, bahkan sejak sebelum itu (Imam Asshadiq selalu menyatakan berlepas diri dari mereka yang mengingkari hubungan mereka dengan beliau). Mereka juga berpendirian mena'wilkan sahnya kedudukan Imam tanpa dibai'at, tanpa pembela, tanpa didukung, tanpa menyatakan diri sebagai pemimpin, tanpa menunjukkan amal yang bisa menjadi contoh tauladan, atau ilmu yang tersebar luas untuk memberi petunjuk dan pelajaran, tanpa menjalankan hukum agama atau melaksanakannya, tanpa memiliki kekuasaan atau kekuatan. Lalu mereka beranggapan bahwa kedudukan Imam ini menyerupai maqam (pangkat) wali Quthb, yang diakui oleh golongan Alawiyin. Seolah orang ini tidak tahu bahwa makam Quthbaniyah adalah salah satu tingkat dan pangkat dalam faham Tasawuf, sedang golongan Alawiyin baru mengikuti faham Tasawuf pada abad ke VII Hijriyah, setelah aliran ini tersebar luas di seluruh dunia Islam.

Kendati demikian, kami tidak berputus asa dan tetap berharap semoga Allah memberi petunjuk kepada orang yang kami sebutkan itu kembali menempuh jalan yang benar serta lebih layak baginya, dengan anugrah dan rahmat dari Allah.

Walau demikian, namun bukanlah merupakan tindakan yang benar dan perilaku yang terpuji apabila seseorang mengikuti suatu faham, atau melakukan tindakan yang salah dalam cara berfikir lalu dia menganggap orang lain yang sebenarnya tidak berfaham demikian - sebagai telah mengikuti faham itu. Tuduhan demikian ini bahkan telah dilancarkan terhadap orang - orang yang telah menghadap Tuhannya (wafat) serta akan memikul beban tanggung jawab amal perbuatan yang pernah dilakukan, sedang sejarah telah mencatat perilaku mereka, menerangkan hakekat aqidah dan keyakinan mereka, sehingga tidak sepantasnyalah menuduh para salaf itu dengan hal-hal yang sesungguhnya Allah telah mensucikan mereka daripadanya, atau menghubungkan faham-faham yang menyimpang ini kepada mereka.

NB: AGAR KITA DAPAT TERHINDAR DARI FAHAM FAHAM YANG SEPERTI DISEBUTKAN DIATAS, MAKA SEBAGAI PENANGKALNYA BACALAH RATIB AL-HADDAD


[1]Ibu Imam Ja'far Asshadiq adalah Ummu Farwah putri Qasim b. Muhammad b. Abu Bakar Asshadiq, sedang Ibu Ummu Arwah adalah Asma' Ja'far Asshadiq adalah cucu Khalifah Abu Bakar melalui kedua orang putranya, Muhammad dan Abdul Rahman.
[2]Untuk menunjukkan betapa besar dan dalam pengaruh tradisi, kebudayaan dan nasionalisme Iran pada Madzhab Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah ini, adalah apa yang ditulis oleh Hamid Enayat dalam bukunya : "Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah. Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke-20".Penerbit Pustaka Bandung 1408-1988 P.281, sebagai berikut : "Drama tersebut (terbunuhnya Imam Husain) juga bisa memperoleh arti penting lain dalam konteks khusus budaya Iran, bukan karena adanya warna-warna nasionalistik anti Arab, atau anti Turki dalam versi-versi populernya, tetapi juga karena peleburannya dalam budaya rakyat dengan mitos Darah Siavush dari masa pra-Islam, seperti tercatat dalarn karya Firdausi, Shahnameh, Himne-himne keagamaan kaum Alawi, Ahli Haqq menggambarkan bagaimana Roh Luhur Manusia Sempurna menitis dari Habil, melalui Jamsyid, Iraj dan Siavush kepada Husain. Meskipun mengandung ciri-ciri yang sama sekali berbeda, mitos Siavush didasarkan kepada gagasan identik mengenai "tertumpahnya darah manusia tidak berdosa yang menangis abadi meminta balasan". Tetapi, sementara legenda Husain melahirkan aspirasi keadilan yang pada intinya bersifat politis, maka legenda Siavush mengilhamkan keyakinan akan adanya pembalasan dendam universal yang menjamin keadilan bagi jiwa jiwa tertindas."

Alangkah Ruginya


Kalam Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz
Perhatikanlah bagaimana bulan berganti tahun dan waktu dengan cepat berlalu meninggalkan manusia. Lima tahun yang lalu aku mengunjungi tempat ini, beberapa wajah yang dahulu tampak di muka bumi, sekarang telah berada di perut bumi. Hilang, tak tampak lagi. Jika mereka orang baik, semoga Allah meninggikan dan memuliakan kedudukan mereka, memberi mereka berbagai kenikmatan dan menyampaikan salam kami kepada mereka.
Orang-orang yang kukenal, anak cucu dan kekasih para imam ini, serta orang lain yang jauh lebih banyak lagi, telah banyak yang berada di perut bumi. Dan suatu hari nanti, mau tidak mau, seseorang akan menjadikan aku dan kalian sebagai pelajaran. Ia akan berkata, "Dahulu si fulan hidup di muka bumi dan berjalan diatasnya. Sekarang ia telah berpulang ke kampung halamannya." Lantas apa yang ia bawa?. Apakah ia membawa nomor rekening dan uang yang disimpannya di bank ke dalam kubur?.
Demi Allah, sekelompok kaum akan menangisi perbuatan mereka, kerakusan mereka dan simpanan mereka di bank. Bank tidak akan memberi mereka manfaat, kantor tidak akan memberi mereka manfaat, semua kemegahan itu tidak akan memberikan manfaat.
Janganlah kalian menyia-nyiakan kegiatan yang paling mulia. Kemuliaan kalian terletak pada ilmu, menuntut dan mengamalkannya. Kalian memiliki 4 atau 5 orang anak, sedangkan kalian adalah kecintaan, cucu dan keturunan salaf, namun tak satu pun dari anak-anak itu yang kalian perintahkan untuk mempelajari ilmu Nabi kalian, ilmu syariat.
Demi Allah, syariat Nabi telah tersebar luas, namun kalian masih saja tertidur, keluarga kalian tertidur. Orang lain datang mendahului kalian, merebut keutamaan dan menyenangkan hati Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalian hanya memikirkan makan, minum, permadani dan perabotan rumah tangga. Kalian rela melihat orang lain merebut kursi pewarisan kekhalifahan dan kedekatan dengan Nabi Muhammad SAW. Duh, alangkah ruginya, alangkah ruginya jika keturunan rasul didahului orang lain!. Alangkah ruginya jika keistimewaan itu direnggut mereka.
Wahai para pecinta sholihin, wahai orang-orang yang memiliki ikatan dengan salaf yang mulia...alangkah agungnya thariqah mereka, manhaj mereka dan riwayat hidup mereka. Mereka sekarang sedang menyeru kepada kalian untuk mengikuti thariqah itu, untuk memegang teguh tali yang kokoh itu. Wahai hamba-hamba Allah, pelajarilah riwayat hidup kaum sholihin. Jalinlah persaudaraan dan kasih sayang diantara kalian. Dan bersiaplah menolong jalan mereka.
[Disarikan dari Ulama Hadramaut, Al-Habib Umar Bin Hafidz, penerbit Putera Riyadi, Solo]

Selasa, 17 April 2012

Anak Cucu Nabi Tak Selalu Syi'ah

Mewabahnya mazhab Syi'ah akhir-akhir ini, secara tidak langsung menimbulkan tanda tanya bagi sebagian kalangan mengenai mazhab yang dianut oleh kaum Alawiyyin. Karena menurut pendapat sebagian besar sejarawan kaum Alawiyyin turut berperan dalam menyebarkan Islam ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Banyak masyarakat yang belum mengetahui apa dan siapa sebenarnya kaum Alawiyyin, atau yang dikenal juga dengan golongan Sayyid atau Habib. Sayangnya cukup banyak, termasuk kalangan sejarawan, yang mengenal golongan ini dari sumber-sumber di luar mereka, hingga kesalahan dan kesalahpahaman sulit dihindarkan. Ironisnya sebagian masyarakat yang lain, mengenal golongan Alawiyyin sebagai pewajib cium tangan, tidak membolehkan kaum wanita mereka dinikahi oleh pria selain Alawiyyin, banyak melakukan bid'ah dan sejenisnya.

Yang cukup aneh tapi nyata , terdapat juga sebagian masyarakat yang "cinta buta" terhadap golongan Alawiyyin. Mereka asal pukul rata, bahwa Alawiyyin adalah mereka yang alim, berakhlak mulia, mempunyai karomah dan lain-lain hingga terkadang tampak penghormatan yang salah alamat. Yang patut disayangkan dan perlu dicegah , mereka para pecinta buta ini kadang menjadi "korban" pemanfaatan dari sebagian kecil --biasanya kaum muda Alawiyyin--yang berakhlak tidak baik, dan sebagian orang yang hanya mengaku sebagai golongan Alawiyyin.

Menurut L.Stoddard dalam The New Word of Islam (edisi Indonesia Dunia Baru Islam : 306) kaum Alawiyyin dianggap sebagai penggerak islam pertama di Indonesia. Hal yang sama juga diutarakan oleh Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia , KH Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia , Hamka sedikitnya di dalam dua bukunya, Abdullah bin Nuh dan lain-lain.

Ada beberapa pertanyaan yang timbul berhubungan dengan segala sesuatu mengenai kaum Alawiyyin. Siapa mereka sebenarnya yang disebut sebagai Alawiyyin , atau Sayyid atau juga Habib? Apa motivasi mereka datang ke Indonesia? Apa mazhab yang mereka anut dan sebarkan? Dan lain-lain.

Mungkin timbul pertanyaan baru , bukankah mencintai Ahlul Bait Nabi dan keturunannya termasuk ajaran Syi'ah? Pertanyaan ini akan muncul pada seseorang yang belum mendalami ajaran agama Islam secara lengkap dan utuh, hingga kecintaan kepada Ahlul Bait dikiranya hanya produk Syi'ah.

Di dalam sejarah Sunni pun - berdasarkan dalil dari golongan Sunni sendiri - terdapat anjuran tersebut . (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di dalam buku keutamaan keluarga Rasulullah s.a.w karya KH Abdullah bin Nuh. Kata pengantar oleh Muhammad al-Baqir dalam buku Thoriqoh menuju Kebahagiaan dan lain-lain. Tetapi terdapat perbedaan yang cukup esensial antara kecintaan yang dianjurkan oleh golongan Sunni dengan yang dianjurkan Golongan Syi'ah.

Sejarah Panjang Kaum Alawiyyin

Sebutan bani Alawi atau Ba'alawi, bermula dari seorang tokoh keturunan Rasulullah yang bernama Alawi (Alwi) bin Ubaidillah bin Ahmad (al-Muhajir) bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far As-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin cucu Rasulullah s.a.w. dari perkawinan antara Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah az-Zahra.

Mengenai keabsahan nasab atau silsilah keturunan di atas tak satupun ahli nasab yang meragukannya. Abdullah bin Nuh dan Dzia Syahab di dalam buku mereka Al-Imam al-Muhajir , menyebutkan lebih dari 15 buku yang membenarkan rangkaian nasab al-Muhajir tersebut. Dan masalah pencatatan nasab dengan teliti inilah yang membedakan kaum Alawiyyin keturunan al-muhajir dengan nasab selainnya, karena sejak dulu hingga saat ini pencatatan nasab tersebut masih berlangsung. Termasuk di Indonesia, terdapat sebuah lembaga khusus yang mempunyai cabang hampir di semua kota besar- terutama di pulau Jawa - yang menangani masalah pernasaban tersebut.

Pada mulanya leluhur kaum Alawiyyin tinggal di Madinah. Karena alasan keamanan dan untuk mencari ketenteraman hidup, cucu Ja'far ash-Shodiq yang yang pertama kali pindah dari Madinah Asy-Syarîfah ke Irak adalah al-Imâm Fakhrul Islâm Abu Isa, Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi … semoga Allah Ta’âlâ meridhoi mereka semua. Ia menetap di Bashrah, begitu pula Isa, anaknya. Keduanya meninggal di Bashrah. Imam Ahmad bin Isa juga dilahirkan di Bashrah dan tumbuh dewasa di sana sebagaimana telah disebutkan. Warga Bashrah dahulu sangat memuliakan, mengagungkan, dan akrab dengan beliau. Tapi, segala sesuatu ada akhirnya …(Muhammad bin Abûbakar asy-Syillî Bâ ‘Alawî, 1402H/1982:239). Tetapi ternyata Irak malah lebih gawat. Kekacauan dan teror yang melanda Irak pada saat itu, tetap saja mencemaskan mereka.

Diskriminasi, penindasan dan pengejaran yang tejadi pada masa kekuasaan Bani Abbas, memaksa leluhur kaum Alawiyyin untuk pergi menghindar menyelamatkan diri. Karena bila hal itu dilakukan, bukan tidak mungkin mereka akan mengalami nasib yang cukup tragis seperti yang dialami oleh leluhur mereka. Tokoh Alawiyyin yang berhijrah dari Basrah, adalah Ahmad bin Isa - cucu Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi yang pertama hijrah ke yaman -yang terkenal dengan julukan Ahmad al-Muhajir Ilallah.

Mulanya rombongan hijrah ini menuju Madinah, lalu Makkah, Yaman Utara dan Akhirnya Yaman Selatan atau Hadramaut. Pemilihan daerah Hadramaut , yang terkenal sebagai negeri yang tandus, gersang dan hampir terputus hubungan dengan negeri lain. Semata-mata karena untuk mencari keamanan dan ketenteraman hidup. Karena hampir seluruh negeri pada saat itu sedang dilanda kekacauan, dan kurang "aman" bagi kelangsungan hidup kaum Alawiyyin, termasuk Makkah dan Madinah yang sempat disinggahi oleh al- Muhajir.

Selain Ahmad Al-Muhajir tentu saja cukup banyak keturunan Rasulullah yang lain yang menyebar ke berbagai negeri. Secara umum mereka biasanya dikenal sebagai golongan Sayyid ( jamak: Saadah). Atau juga Syarif (jamak: Asyraf ). Jadi pada dasarnya tidak semua Saadah atau Asyraf termasuk Alawiyyin, tapi setiap Alawiyyin adalah Saadah. Namun dalam penggunaannya terdapat indikasi penyamaan sebutan Alawiyyin bagi seluruh keturunan Ahlul Bait – tidak khusus bagi Saadah keturunan Alwi Bin Ubaidillah saja. Kaum Alawiyyin dalam konteks di atas, tidak ada hubungannya sama sekali dengan golongan Alawi yang terdapat di Syiria.

Tahapan Sejarah, Mazhab dan Gelar

Sayyid Muhammad Ahmad Asyathiri di dalam bukunya, Sekilas Sejarah Salaf Al-Alawiyyin, membagi sejarah kaum Alawiyyin menjadi 4 tahap, yaitu:

Tahap I : Dari abad ke 3 – 7 H ( 9-12 M), yaitu dari masa al- Muhajir hingga masa al - Faqih al- Muqaddam. Pada masa ini mereka biasanya digelari dengan Imam.

Tahap II : Dari abad ke 7-10 H (12-15M), yaitu dari masa al –Faqih al- Muqaddam hingga masa al- Haddad. Pada masa ini biasanya mereka digelari dengan Syekh.

Tahap III : Dari abad ke 11-14 H (16-19M). Pada masa ini biasanya mereka digelari dengan Habib.

Tahap IV : Dari abad ke-14 sampai sekarang. Pada tahap ini biasanya mereka digelari dengan Sayyid.

Beberapa sejarawan menyebutkan, bahwa Ahmad al- Muhajir adalah seorang Sunni yang bermazhab Syafii. Tetapi ia seorang yang luas pengetahuannya, tidak asal bertaklid, karena itu juga terdapat sebagian kecil pendapatnya yang tidak berkesuaian dengan pendapat Syafii. Dengan kata lain, para tokoh Alawiyyin pada tahap pertama ini banyak yang tergolong sebagai mujtahid - dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab - , dan hasil ijtihad mereka banyak yang bersesuaian dengan pendapat Syafii. Karena itu juga tak aneh bila al –Muhajir dan tokoh-tokoh Alawiyyin pada tahap pertama ini digelari dengan " imam".

Pada tahapan kedua terjadi perubahan yang cukup bersejarah, yaitu masuknya seorang tokoh Alawiyyin, Muhammad Bin Ali yang terkenal dengan julukan al’Faqih al- Muqaddam’ (wafat 653H), ke dalam dunia tasawuf. Semenjak itu tasawuf menjadi populer di kalangan Alawiyyin, dan muncullah tarikat yang khas yang dinamakan " ath- Thariqah al – Alawiyyah".

Aliran tasawuf Alawiyyin menempuh jalan tengah, tidak ekstrem, tetapi juga tidak mengabaikan ajaran-ajaran murni dari Al-Quran, Sunnah Nabi dan amalan para sahabat serta tabiin. Mereka melarang murid-muridnya membaca buku-buku tasawuf yang memuat ucapan yang membingungkan, berisi faham wihdatul wujud dan sejenisnya.

Walhasil mereka menciptakan ‘gaya’ baru dalam dunia tasawuf. Mereka tidak mengizinkan pengikutnya mengenakan pakaian kasar, mengembara sebagai darwis, melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Allah dan perilaku-perilaku "janggal" sufi sebagaimana lazimnya. Tasawuf kaum Alawiyyin pada khususnya dan negeri Hadramaut pada umumnya berintikan ibadah, zikir, akhlak dan zuhud. Dan semua ini lebih banyak mereka praktekkan, daripada hanya sekadar teori dan dipelajari.

"Jalan" di atas inilah yang tetap dipraktekkan secara turun-temurun pada tahapan sejarah ketiga dan berlanjut hingga sekarang. Pada intinya seperti yang diungkapkan Asyathiri, "Kaum Alawiyyin adalah penganut Al- Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al- Asy’ari dalam beberapa hal" (Asyathiri 86 :39).

Dalam menilai sahabat Rasulullah saw dan pertikaian yang terjadi antara Ali dengan Aisyah dan lain-lain, mereka mengembalikan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada Allah. Mereka mencintai dan menghormati Ali, tetapi menolak dengan keras untuk mencerca para sahabat secara keseluruhan.

"Sikap seperti ini tentunya bersesuaian dengan mayoritas Ahlus-Sunnah dan bertentangan dengan sebagian besar kaum Syi’ah yang tidak perlu merasa segan sedikit pun untuk mengecam – seringkali secara amat tajam dan keras –terhadap tindakan para sahabat yang menurut mereka—telah bertindak keterlaluan dan tidak termaafkan, karena telah merampas hak kekuasaan politik dan kepemimpinan umum atas umat sepeninggal Nabi saw dari pemiliknya yang sah serta satu-satunya pengemban wasiat beliau, yakni Iman Ali r.a ." (Sayyid Abdullah Haddad, Kata Pengantar oleh Muhammad al- Baqir, 1986: 19-20).

Mengenai masalah gelar, hal ini bukan berarti dikhususkan bagi mereka, hanya saja gelar-gelar tersebut lebih populer di kalangan Alawiyyin, khususnya pada tahap ketiga dan keempat, yaitu dari abad ke 14 hingga sekarang, tampaknya gelar "Habib" masih lebih populer ketimbang "Sayyid" atau selainnya.

Bila ditinjau dari kaca mata agama, kemunduran dunia Islam di abad-abad terakhir ini juga melanda kaum Alawiyyin, khususnya pada tahap ketiga dan keempat. Baik secara "kualitas" maupun "kuantitas" mereka tidak seperti para leluhurnya lagi, apalagi melebihi. Bukan berarti kosong tanpa ada tokoh-tokoh yang menonjol, tetapi—seperti yang diakui sendiri oleh golongan Alawiyyin—secara umum telah terjadi kemunduran.

Penyebaran Kaum Alawiyyin

Seperti telah disinggung diatas, keadaan pada abad-abad pertama Hijriyah ( abad 7-10) telah "memaksa" kaum Alawiyyin untuk berhijrah mencari negeri baru yang lebih "aman" bagi kelangsungan hidup mereka. Gelombang hijrah terus berlangsung baik secara perorangan maupun kelompok, termasuk setelah kepindahan al-Muhajir ke Hadramaut, Yaman. Mereka menyebar ke Afrika, Cina, Asia Tenggara, India dan lain-lain.

Walaupun kaum Alawiyyin bukan satu-satunya penyebar Islam –dan tidak tertutup kemungkinan gelombang hijrah mereka tertunggangi motivasi bedagang atau selainnya, tetapi tak berlebihan bila dikatakan, bahwa kaum Alawiyyin turut andil dan berperan dalam mengubah "wajah dunia". Dan walaupun jarang dari kaum Alawiyyin yang terjun ke dunia politik atau pemerintahan – terutama para pendahulu mereka--, tetapi ada juga dari mereka yang sempat mendirikan kerajaan atau kesultanan. Seperti Al-Idrus di Surrat , India, Al-Qadri dan Syekh bin Abu Bakar di Kepulauan Komoro (Komores), Bin Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak, Bafaqih di Filipina dan lain-lain.

Mengenai peran kaum Alawiyyin dalam menyebarkan Islam tidak diragukan lagi, termasuk andil mereka dalam membawa masuk dan menyebarkan Islam di Indonesia. Baik sejarawan Timur maupun Barat dan sejarawan kita sendiri cukup banyak yang mengungkapkan mengenai hal ini.

" Dapat disimpulkan bahwa mubaliq-mubaliq Islam datang pertama kali ke Indonesia langsung dari Makkah- Madinah. Ada kemungkinan besar bahwa diantara mereka terdapat golongan Alawiyyin keturunan Sayyidina Hasan dan Husien Bin Ali, baik yang berasal dari Makkah-Madinah maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya. (Saefuddin Zuhri.1981:177)

" Adanya raja-raja Islam dan kerajaan Islam dalam beberapa negara di Indonesia menjadi bukti yang sah untuk membenarkan adanya orang-orang Arab dalam rombongan penyiar Islam pertama. Sultan itu memakai nama Arab dan nama suku Arab, dan menerangkan dalam silsilahnya bahwa mereka berasal dari keturunan Nabi Muhammad." ( Aboebakar Aceh, 1985:21)

Hijrah Alawiyyin ke Indonesia

Seperti juga hijrah kaum Alawiyyin ke berbagai penjuru dunia, hijrah yang terjadi ke Indonesia dapat dikatakan berlangsung di setiap tahapan sejarah mereka. Tetapi menurut catatan sejarah, hijrah yang terjadi pada tahap kesatu ( 3-7 H: /9-12M). Dan tahap ketiga (11-14H. /16-19M) merupakan puncak, bila dibandingkan tahap atau juga masa yang lain–abad ke 15H, karena pada abad ini dapat dikatakan tidak ada hijrah lagi. Dan tampaknya, Hamka di dalam buku beliau Sejarah umat Islam (Jilid IV), hanya mengkaitkan kaum Alawiyyin dengan hijrah mereka yang terjadi pada yang terjadi pada tahap ketiga saja. Hal ini tampak pada tulisan beliau," Kemudian itu tidaklah dapat kita abaikan betapa penghargaan dan kemuliaan yang diterima oleh keturunan Arab, terutama yang berbangsa Sayid, meskipun kedatangan mereka pada zaman-zaman agak terakhir."(Hamka 1981:47).

Memang bila dibandingkan tahap-tahap yang lain, tahap ketiga ditandai dengan derasnya arus hijrah kaum Alawiyyin terutama ke India, Malaysia dan Indonesia. Menurut Asyatri, faktor pendorong hijrah pada masa ini – selain faktor-faktor pendorong yang telah disebutkan – adalah karena jumlah populasi kaum Alawiyyin yang berkembang sangat pesat. Tetapi dari berbagai faktor yang ada, kemungkinan naluri berhijrah, berdagang dan berdakwah merupakan tiga faktor utama pendorong kehijrahan mereka.

Tentunya pembawa masuk dan penyebar Islam di Indonesia bukan hanya golongan Alawiyyin saja, tetapi verifikasi mengenai pendapat yang mengatakan pembawa Islam bukan orang Arab perlu dilakukan, terutama pendapat yang mengatakan dari India. Selain karena pendapat tersebut berasal-muasal dari kolonialis Belanda, menurut sinyalemen sebagian sejarawan hal ini bertendensi politik.

Mengenai masalah di atas, yaitu negeri asal para penyebar Islam di Indonesia – yang sampai saat ini masih diperselisihkan oleh para sejarawan – Al Haddad di dalam bukunya Al Madkhalu Ila Tarikhi al - Islami memberi masukan yang cukup penting. Menurutnya, Campa dan Gujarat merupakan tempat transit dan mangakalnya para pedagang Arab dari Hadramaut, Oman, Teluk Parsi dan lain-lain dari semenjak sebelum Islam.

Bila mengingat hal ini, maka pendapat yang mengatakan para penyiar islam berasal dari Campa dan Gujarat tidak tepat, karena negeri tersebut hanya menjadi persinggahan bukan menjadi tujuan. Walaupun sebagian dari mereka telah menikah dengan wanita setempat atau juga yang tinggal dalam jangka waktu yang lama, tetapi semua itu tidak menghilangkan keakraban mereka – apalagi mengingat sistem patrilenear (mengambil keturunan dari garis ayah) yang diterapkan oleh orang Arab.

Seperti sebagian dari anggota Wali Sanga, walaupun mereka berasal dari Campa, Kamboja, tetapi mempunyai leluhur bangsa Arab. Al-Haddad, Abdullah bin Nuh, Hamid al-Qadri dan lain-lain memastikan bahwa para wali sanga, kecuali Sunan Kalijaga dan Sunan Muria, adalah keturunan Nabi melalui al-Muhajir dan masih termasuk golongan Alawiyyin. Nasab atau silsilah keturunan mereka dapat dilihat di beberapa buku yang mencantumkannya, seperti Imam al- Muhajir, Thariqah Menuju Kebahagiaan, C. Snouck Hugronje, Khidmatu al- Asyirah karya H. Ahmad as-Sagaf dan lain-lain.

Mazhab Para Penyebar Islam

Dengan mengetahui siapa sebenarnya kaum Alawiyyin, apa yang selama ini menjadi tanda tanya bagi sebagian sejarawan, yaitu mengenai mazhab apa yang masuk ke Indonesia akan terungkap atau minimal berkurang. Walaupun kaum Alawiyyin mencintai Ahlul Bait – apalagi bila mengingat bahwa Ahlul Bait adalah leluhur mereka sendiri - , tetapi hal ini bukan berarti ajaran Syiah.

" Pengaruh didikan Islam yang lambat-laun membentuk sikap-sikap Umat Islam di Indonesia menyintai Ahli-Bait Rasulullah bukanlah pengaruh ajaran Syi’ah, akan tetapi Ahlus Sunnah al Jama’ah. Menyintai Sayyidina Hasan dan Husein dan anak cucunya, disebabkan karena mereka adalah termasuk Ahli Bait Rasulullah. Seperti juga golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyintai para Sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, ’Ali, Thalhah, Zubair dan lain-lain Sahabat besar. Begitu cintanya kepada mereka sehingga selama beratus-ratus tahun lamanya para khatib mendoakan mereka pada tiap-tiap khotbah Jum`at . ini bukan pengaruh Syi`ah, akan tetapi termasuk ciri akhlak Ahlus Sunnah wal Jama`ah."(Saefudin Zuhri.1981:179-180)

pendapat yang mengatakan para penyebar islam di Indonesia dari Persi, tampaknya agar diasumsikan madzhab yang menyebar di Indonesia adalah madzhab Syiah. Walaupun mungkin diantara para penyebar islam terdapat orang-orang Persi – dalam jumlah kecil tentunya - ,tetapi masih terlalu jauh untuk menyimpulkan bahwa mazhab syiah turut berkembang di Indonesia. Dengan kata lain, bisa jadi terdapat pendakwah Syiah yang datang ke Indonesia, tetapi tidak berkembang dan hanya terbatas di kalangan tertentu.

Prof.Dr.H Aboebakar Aceh di dalam bukunya Sekitar Masuknya Islam Di Indonesia, justru mengkaitkan Alawiyyin dengan Syiah . " Bagi saya yang penting ialah bahwa kebanyakan para Alawiyyin itu adalah bermazhab Syi`ah, karena mereka mencintai Ali bin Abi Tholib atau sekurang-kurangnya mereka bersimpati dengan aliran ini. " (Aboebakar, 1985:35)

Pernyataan ini tidak dapat dibuktikan, baik melalui argumentasi yang kuat maupun fakta yang ada. Tetapi bila kaum Alawiyyin menyebarkan mazhab yang tidak seratus persen Syafii, hal ini –mungkin—masih dapat dibuktikan, walaupun secara mayoritas dan umum tak salah bila dikatakan Syafii.

Tetapi perlu dipertegas sekali lagi –para leluhur maupun kaum Alawiyyin yang datang menyebarkan Islam ke Indonesia dan yang ada saat ini , tidak menganut paham Syiah. Hal ini dapat dibuktikan melalui buku-buku karya mereka, atau juga mazhab yang dianut secara turun-temurun oleh mayoritas kaum Alawiyyin dimanapun mereka berada.

"Sayid Husein bin Ahmad Al-Qadri adalah seorang ulama penganut mazhab Syafi`i berasal dari Hadramaut, yang datang ke nusantara dengan tiga orang temannya yaitu Sayid Abubakar Al-Alaydrus, Sayid Umar Husein As-Saqaf, Sayid Muhammad bin Husein Al-Quraisy" (Muhd. Shaqir Abdullah 1985:50).

Hamka dalam kesimpulan mengatakan, " Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwasanya mazhab utama sejak permulaan adalah mazhab Syafii, dalam lingkungan ahli Sunnah wal jamaah, mazhab pegangan yang umum daripada orang arab dan keturunan arab di pantai Malabar Coromandel. Tersangat dalamnya pengaruh mazhab Syafii ini menjadi bukti yang tidak dapat diabaikan sebagai pelopor utama daripada penyiaran Islam di negeri Melayu ialah orang Arab. "(Hamka, 1981:53)

"Maka jelaslah bahwa bukan lantaran Syi`ah kalau umat islam Indonesia mencintai Ahlil Bait Rasulullah, menyintai Sayyidina Ali, Sayyidatina Fathimah, Hasan, Husen serta keturunannya. Karena ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama`ah maka umat islam di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang menyintai mereka seperti juga menyintai Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, `Umar dan` Ustman serta lain-lain sahabat, satu hal yang tidak diperlihatkan oleh pemeluk Syiah dimanapun mereka berada" (Saefudin Zuhri.1981:182)

Alawiyyin dan Pembaharuan Islam

Untuk menutup pembahasan mengenai sejarah panjang kaum Alawiyyin ini, akan disinggungkan sedikit mengenai peran mereka dalam "menyulut" gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Yang cukup aneh, walaupun sejarawan Belanda dan sebagian sejarawan kita membeberkan tentang masalah ini, tetapi sepertinya peran kaum Alawiyyin melalui organisasi Jamiat Khair belum terungkap. Padahal H Agus Salim pernah berkomentar mengenai organisasi ini sebagai berikut," Pada tahun 1904 atau 1905, khusus untuk mengatasi ekonomi lemah di Indonesia, beberapa orang Indonesia keturunan Arab dan beberapa orang Sumatra membentuk suatu organisasi gotong royong yang dinamakan Jamiat Khair dan hampir seluruhnya terdiri dari orang-orang keturunan Arab dan Sumatera Barat. Banyak anggota Boedi Oetomo dan Sarekat Islam adalah bekas anggota Jamiat Khair" (Muhammad al- Baqir. 1986: 52-53)

Suatu permasalahan yang mungkin masih belum diketahui secara luas sekaligus menenggelamkan nama Jamiat Khair, adalah mengenai tahun pendirian organisasi tersebut. Pada dasarnya Jamiat Khair berdiri pada tahun 1901 dan mendapat pengakuan legal dari pemerintah Belanda pada tahun 1905, tetapi karena mendapat pengawasan yang ekstra ketat – ditambah tidak boleh membuka cabang di luar Jakarta – maka pertumbuhannya tampak lamban.

Walaupun demikian organisasi modern pertama di Indonesia yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan ini, tidak berlebihan bila dikatakan turut berperan dalam memicu pembaruan dan nasionalisme. Kerena selain sebagai petransfer majalah-majalah berbahasa Arab," dari sini KHA Dahlan pemimpin pertama Muhammadiyah dan organisasi-organisasi terpelajar lain mengenal bacaan-bacaan kaum reform yang didatangkan dari luar negeri." ( L.Stoddard.tt.306)

"Reformisme Islam masuk pada akhir abad lalu dan awal abad ini di Indonesia. Hal ini terlaksana dengan 3 cara. Pertama-tama masuknya Reformisme ke Indonesia melalui masyarakat Arab yang bermukim di Indonesia," begitulah kesimpulan APE Korver di dalam bukunya Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil.

Mengenai ikut andilnya kaum Alawiyyin terutama melalui Jamiat Khair dalam – mungkin kata yang tepat – mempercepat proses lahirnya reformisme dan nasionalisme tak dapat disangkal lagi. Karena begaimanapun juga sejarah telah mencatat sekalipun belum terungkap sampai seberapa peran mereka.

Semoga saja permasalahan yang mungkin baru bagi sebagian sejarawan ini ,memberikan masukan yang bermanfaat untuk membuka tabir sejarah kita yang sebagian masih"terselubung", diperselisihkan dan dipertanyakan.

DAFTAR PUSTAKA

Aboebakar Aceh, Prof.Dr.1985.Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo Ramadhani.

Abdullah bin Nuh dan Muhammad Dhiya Syahab.1985.al-Imam al Muhajir. Jedda: Dar asy Syarq.

Abdullah bin Nuh ,K.H.1989. Keutamaan Keluarga Rasulullah saw. Semarang: CV Toha Putra.

Asyathiri, Sayid Muhammad Ahmad.1986. Sekilas Sejarah Salaf Alawiyyin. Pekalongan . Yayasan Azzahir.

Hamka,Dr.1981.Sejarah Umat Islam (jilid IV). Jakarta. Bulan Bintang.

Al- Haddad, Sayyid Alwi bin Tohir.1985.al- Madkhalu Ila Tarikhii al –Islam. Jeddah. Alam Ma’rifah.

Hamid al-Qadri,Mr. 184.C.Snouck Hugronje Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta. Sinar Harapan.

Kuntowijoyo,Dr. 1991.Paradigma Islam. Bandung.Mizan

Muhammad bin Abûbakar asy-Syillî Bâ ‘Alawî, Al-Masyra’ ar-Rowî fî manâqibis Sâdatil Kirômi Âli Abî ‘Alawî, Juz ke-1, Cet. ke-2, 1402H/1982,

Muhammad Shaqir Abdullah, H.W.1985. Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara. Solo.Ramadhani.

Noer, Deliar.1980.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.Jakarta.LP3ES

Pijper, G.F.1985.Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta.UI Press.

Saefudin Zuhri, KH.1981.Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung. Al-Maarif

Stoddard.tt. The New World Of Islam (edisi bahasa Indonesia). Dunia Baru Islam.

Sayid Abdullah Haddad, Alalamah .1986.Thariqah Menuju Kebahagiaan. Bandung. Mizan.

Dan lain- lain

Original Source written by Abu Jaffar and Abdurahman Haddad

Retyped and Edited by A.S Syahab in Flower City, 2001

sakran_baalawi@yahoo.com