Selasa, 17 April 2012

Anak Cucu Nabi Tak Selalu Syi'ah

Mewabahnya mazhab Syi'ah akhir-akhir ini, secara tidak langsung menimbulkan tanda tanya bagi sebagian kalangan mengenai mazhab yang dianut oleh kaum Alawiyyin. Karena menurut pendapat sebagian besar sejarawan kaum Alawiyyin turut berperan dalam menyebarkan Islam ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Banyak masyarakat yang belum mengetahui apa dan siapa sebenarnya kaum Alawiyyin, atau yang dikenal juga dengan golongan Sayyid atau Habib. Sayangnya cukup banyak, termasuk kalangan sejarawan, yang mengenal golongan ini dari sumber-sumber di luar mereka, hingga kesalahan dan kesalahpahaman sulit dihindarkan. Ironisnya sebagian masyarakat yang lain, mengenal golongan Alawiyyin sebagai pewajib cium tangan, tidak membolehkan kaum wanita mereka dinikahi oleh pria selain Alawiyyin, banyak melakukan bid'ah dan sejenisnya.

Yang cukup aneh tapi nyata , terdapat juga sebagian masyarakat yang "cinta buta" terhadap golongan Alawiyyin. Mereka asal pukul rata, bahwa Alawiyyin adalah mereka yang alim, berakhlak mulia, mempunyai karomah dan lain-lain hingga terkadang tampak penghormatan yang salah alamat. Yang patut disayangkan dan perlu dicegah , mereka para pecinta buta ini kadang menjadi "korban" pemanfaatan dari sebagian kecil --biasanya kaum muda Alawiyyin--yang berakhlak tidak baik, dan sebagian orang yang hanya mengaku sebagai golongan Alawiyyin.

Menurut L.Stoddard dalam The New Word of Islam (edisi Indonesia Dunia Baru Islam : 306) kaum Alawiyyin dianggap sebagai penggerak islam pertama di Indonesia. Hal yang sama juga diutarakan oleh Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia , KH Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia , Hamka sedikitnya di dalam dua bukunya, Abdullah bin Nuh dan lain-lain.

Ada beberapa pertanyaan yang timbul berhubungan dengan segala sesuatu mengenai kaum Alawiyyin. Siapa mereka sebenarnya yang disebut sebagai Alawiyyin , atau Sayyid atau juga Habib? Apa motivasi mereka datang ke Indonesia? Apa mazhab yang mereka anut dan sebarkan? Dan lain-lain.

Mungkin timbul pertanyaan baru , bukankah mencintai Ahlul Bait Nabi dan keturunannya termasuk ajaran Syi'ah? Pertanyaan ini akan muncul pada seseorang yang belum mendalami ajaran agama Islam secara lengkap dan utuh, hingga kecintaan kepada Ahlul Bait dikiranya hanya produk Syi'ah.

Di dalam sejarah Sunni pun - berdasarkan dalil dari golongan Sunni sendiri - terdapat anjuran tersebut . (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di dalam buku keutamaan keluarga Rasulullah s.a.w karya KH Abdullah bin Nuh. Kata pengantar oleh Muhammad al-Baqir dalam buku Thoriqoh menuju Kebahagiaan dan lain-lain. Tetapi terdapat perbedaan yang cukup esensial antara kecintaan yang dianjurkan oleh golongan Sunni dengan yang dianjurkan Golongan Syi'ah.

Sejarah Panjang Kaum Alawiyyin

Sebutan bani Alawi atau Ba'alawi, bermula dari seorang tokoh keturunan Rasulullah yang bernama Alawi (Alwi) bin Ubaidillah bin Ahmad (al-Muhajir) bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far As-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin cucu Rasulullah s.a.w. dari perkawinan antara Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah az-Zahra.

Mengenai keabsahan nasab atau silsilah keturunan di atas tak satupun ahli nasab yang meragukannya. Abdullah bin Nuh dan Dzia Syahab di dalam buku mereka Al-Imam al-Muhajir , menyebutkan lebih dari 15 buku yang membenarkan rangkaian nasab al-Muhajir tersebut. Dan masalah pencatatan nasab dengan teliti inilah yang membedakan kaum Alawiyyin keturunan al-muhajir dengan nasab selainnya, karena sejak dulu hingga saat ini pencatatan nasab tersebut masih berlangsung. Termasuk di Indonesia, terdapat sebuah lembaga khusus yang mempunyai cabang hampir di semua kota besar- terutama di pulau Jawa - yang menangani masalah pernasaban tersebut.

Pada mulanya leluhur kaum Alawiyyin tinggal di Madinah. Karena alasan keamanan dan untuk mencari ketenteraman hidup, cucu Ja'far ash-Shodiq yang yang pertama kali pindah dari Madinah Asy-Syarîfah ke Irak adalah al-Imâm Fakhrul Islâm Abu Isa, Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi … semoga Allah Ta’âlâ meridhoi mereka semua. Ia menetap di Bashrah, begitu pula Isa, anaknya. Keduanya meninggal di Bashrah. Imam Ahmad bin Isa juga dilahirkan di Bashrah dan tumbuh dewasa di sana sebagaimana telah disebutkan. Warga Bashrah dahulu sangat memuliakan, mengagungkan, dan akrab dengan beliau. Tapi, segala sesuatu ada akhirnya …(Muhammad bin Abûbakar asy-Syillî Bâ ‘Alawî, 1402H/1982:239). Tetapi ternyata Irak malah lebih gawat. Kekacauan dan teror yang melanda Irak pada saat itu, tetap saja mencemaskan mereka.

Diskriminasi, penindasan dan pengejaran yang tejadi pada masa kekuasaan Bani Abbas, memaksa leluhur kaum Alawiyyin untuk pergi menghindar menyelamatkan diri. Karena bila hal itu dilakukan, bukan tidak mungkin mereka akan mengalami nasib yang cukup tragis seperti yang dialami oleh leluhur mereka. Tokoh Alawiyyin yang berhijrah dari Basrah, adalah Ahmad bin Isa - cucu Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi yang pertama hijrah ke yaman -yang terkenal dengan julukan Ahmad al-Muhajir Ilallah.

Mulanya rombongan hijrah ini menuju Madinah, lalu Makkah, Yaman Utara dan Akhirnya Yaman Selatan atau Hadramaut. Pemilihan daerah Hadramaut , yang terkenal sebagai negeri yang tandus, gersang dan hampir terputus hubungan dengan negeri lain. Semata-mata karena untuk mencari keamanan dan ketenteraman hidup. Karena hampir seluruh negeri pada saat itu sedang dilanda kekacauan, dan kurang "aman" bagi kelangsungan hidup kaum Alawiyyin, termasuk Makkah dan Madinah yang sempat disinggahi oleh al- Muhajir.

Selain Ahmad Al-Muhajir tentu saja cukup banyak keturunan Rasulullah yang lain yang menyebar ke berbagai negeri. Secara umum mereka biasanya dikenal sebagai golongan Sayyid ( jamak: Saadah). Atau juga Syarif (jamak: Asyraf ). Jadi pada dasarnya tidak semua Saadah atau Asyraf termasuk Alawiyyin, tapi setiap Alawiyyin adalah Saadah. Namun dalam penggunaannya terdapat indikasi penyamaan sebutan Alawiyyin bagi seluruh keturunan Ahlul Bait – tidak khusus bagi Saadah keturunan Alwi Bin Ubaidillah saja. Kaum Alawiyyin dalam konteks di atas, tidak ada hubungannya sama sekali dengan golongan Alawi yang terdapat di Syiria.

Tahapan Sejarah, Mazhab dan Gelar

Sayyid Muhammad Ahmad Asyathiri di dalam bukunya, Sekilas Sejarah Salaf Al-Alawiyyin, membagi sejarah kaum Alawiyyin menjadi 4 tahap, yaitu:

Tahap I : Dari abad ke 3 – 7 H ( 9-12 M), yaitu dari masa al- Muhajir hingga masa al - Faqih al- Muqaddam. Pada masa ini mereka biasanya digelari dengan Imam.

Tahap II : Dari abad ke 7-10 H (12-15M), yaitu dari masa al –Faqih al- Muqaddam hingga masa al- Haddad. Pada masa ini biasanya mereka digelari dengan Syekh.

Tahap III : Dari abad ke 11-14 H (16-19M). Pada masa ini biasanya mereka digelari dengan Habib.

Tahap IV : Dari abad ke-14 sampai sekarang. Pada tahap ini biasanya mereka digelari dengan Sayyid.

Beberapa sejarawan menyebutkan, bahwa Ahmad al- Muhajir adalah seorang Sunni yang bermazhab Syafii. Tetapi ia seorang yang luas pengetahuannya, tidak asal bertaklid, karena itu juga terdapat sebagian kecil pendapatnya yang tidak berkesuaian dengan pendapat Syafii. Dengan kata lain, para tokoh Alawiyyin pada tahap pertama ini banyak yang tergolong sebagai mujtahid - dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab - , dan hasil ijtihad mereka banyak yang bersesuaian dengan pendapat Syafii. Karena itu juga tak aneh bila al –Muhajir dan tokoh-tokoh Alawiyyin pada tahap pertama ini digelari dengan " imam".

Pada tahapan kedua terjadi perubahan yang cukup bersejarah, yaitu masuknya seorang tokoh Alawiyyin, Muhammad Bin Ali yang terkenal dengan julukan al’Faqih al- Muqaddam’ (wafat 653H), ke dalam dunia tasawuf. Semenjak itu tasawuf menjadi populer di kalangan Alawiyyin, dan muncullah tarikat yang khas yang dinamakan " ath- Thariqah al – Alawiyyah".

Aliran tasawuf Alawiyyin menempuh jalan tengah, tidak ekstrem, tetapi juga tidak mengabaikan ajaran-ajaran murni dari Al-Quran, Sunnah Nabi dan amalan para sahabat serta tabiin. Mereka melarang murid-muridnya membaca buku-buku tasawuf yang memuat ucapan yang membingungkan, berisi faham wihdatul wujud dan sejenisnya.

Walhasil mereka menciptakan ‘gaya’ baru dalam dunia tasawuf. Mereka tidak mengizinkan pengikutnya mengenakan pakaian kasar, mengembara sebagai darwis, melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Allah dan perilaku-perilaku "janggal" sufi sebagaimana lazimnya. Tasawuf kaum Alawiyyin pada khususnya dan negeri Hadramaut pada umumnya berintikan ibadah, zikir, akhlak dan zuhud. Dan semua ini lebih banyak mereka praktekkan, daripada hanya sekadar teori dan dipelajari.

"Jalan" di atas inilah yang tetap dipraktekkan secara turun-temurun pada tahapan sejarah ketiga dan berlanjut hingga sekarang. Pada intinya seperti yang diungkapkan Asyathiri, "Kaum Alawiyyin adalah penganut Al- Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al- Asy’ari dalam beberapa hal" (Asyathiri 86 :39).

Dalam menilai sahabat Rasulullah saw dan pertikaian yang terjadi antara Ali dengan Aisyah dan lain-lain, mereka mengembalikan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada Allah. Mereka mencintai dan menghormati Ali, tetapi menolak dengan keras untuk mencerca para sahabat secara keseluruhan.

"Sikap seperti ini tentunya bersesuaian dengan mayoritas Ahlus-Sunnah dan bertentangan dengan sebagian besar kaum Syi’ah yang tidak perlu merasa segan sedikit pun untuk mengecam – seringkali secara amat tajam dan keras –terhadap tindakan para sahabat yang menurut mereka—telah bertindak keterlaluan dan tidak termaafkan, karena telah merampas hak kekuasaan politik dan kepemimpinan umum atas umat sepeninggal Nabi saw dari pemiliknya yang sah serta satu-satunya pengemban wasiat beliau, yakni Iman Ali r.a ." (Sayyid Abdullah Haddad, Kata Pengantar oleh Muhammad al- Baqir, 1986: 19-20).

Mengenai masalah gelar, hal ini bukan berarti dikhususkan bagi mereka, hanya saja gelar-gelar tersebut lebih populer di kalangan Alawiyyin, khususnya pada tahap ketiga dan keempat, yaitu dari abad ke 14 hingga sekarang, tampaknya gelar "Habib" masih lebih populer ketimbang "Sayyid" atau selainnya.

Bila ditinjau dari kaca mata agama, kemunduran dunia Islam di abad-abad terakhir ini juga melanda kaum Alawiyyin, khususnya pada tahap ketiga dan keempat. Baik secara "kualitas" maupun "kuantitas" mereka tidak seperti para leluhurnya lagi, apalagi melebihi. Bukan berarti kosong tanpa ada tokoh-tokoh yang menonjol, tetapi—seperti yang diakui sendiri oleh golongan Alawiyyin—secara umum telah terjadi kemunduran.

Penyebaran Kaum Alawiyyin

Seperti telah disinggung diatas, keadaan pada abad-abad pertama Hijriyah ( abad 7-10) telah "memaksa" kaum Alawiyyin untuk berhijrah mencari negeri baru yang lebih "aman" bagi kelangsungan hidup mereka. Gelombang hijrah terus berlangsung baik secara perorangan maupun kelompok, termasuk setelah kepindahan al-Muhajir ke Hadramaut, Yaman. Mereka menyebar ke Afrika, Cina, Asia Tenggara, India dan lain-lain.

Walaupun kaum Alawiyyin bukan satu-satunya penyebar Islam –dan tidak tertutup kemungkinan gelombang hijrah mereka tertunggangi motivasi bedagang atau selainnya, tetapi tak berlebihan bila dikatakan, bahwa kaum Alawiyyin turut andil dan berperan dalam mengubah "wajah dunia". Dan walaupun jarang dari kaum Alawiyyin yang terjun ke dunia politik atau pemerintahan – terutama para pendahulu mereka--, tetapi ada juga dari mereka yang sempat mendirikan kerajaan atau kesultanan. Seperti Al-Idrus di Surrat , India, Al-Qadri dan Syekh bin Abu Bakar di Kepulauan Komoro (Komores), Bin Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak, Bafaqih di Filipina dan lain-lain.

Mengenai peran kaum Alawiyyin dalam menyebarkan Islam tidak diragukan lagi, termasuk andil mereka dalam membawa masuk dan menyebarkan Islam di Indonesia. Baik sejarawan Timur maupun Barat dan sejarawan kita sendiri cukup banyak yang mengungkapkan mengenai hal ini.

" Dapat disimpulkan bahwa mubaliq-mubaliq Islam datang pertama kali ke Indonesia langsung dari Makkah- Madinah. Ada kemungkinan besar bahwa diantara mereka terdapat golongan Alawiyyin keturunan Sayyidina Hasan dan Husien Bin Ali, baik yang berasal dari Makkah-Madinah maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya. (Saefuddin Zuhri.1981:177)

" Adanya raja-raja Islam dan kerajaan Islam dalam beberapa negara di Indonesia menjadi bukti yang sah untuk membenarkan adanya orang-orang Arab dalam rombongan penyiar Islam pertama. Sultan itu memakai nama Arab dan nama suku Arab, dan menerangkan dalam silsilahnya bahwa mereka berasal dari keturunan Nabi Muhammad." ( Aboebakar Aceh, 1985:21)

Hijrah Alawiyyin ke Indonesia

Seperti juga hijrah kaum Alawiyyin ke berbagai penjuru dunia, hijrah yang terjadi ke Indonesia dapat dikatakan berlangsung di setiap tahapan sejarah mereka. Tetapi menurut catatan sejarah, hijrah yang terjadi pada tahap kesatu ( 3-7 H: /9-12M). Dan tahap ketiga (11-14H. /16-19M) merupakan puncak, bila dibandingkan tahap atau juga masa yang lain–abad ke 15H, karena pada abad ini dapat dikatakan tidak ada hijrah lagi. Dan tampaknya, Hamka di dalam buku beliau Sejarah umat Islam (Jilid IV), hanya mengkaitkan kaum Alawiyyin dengan hijrah mereka yang terjadi pada yang terjadi pada tahap ketiga saja. Hal ini tampak pada tulisan beliau," Kemudian itu tidaklah dapat kita abaikan betapa penghargaan dan kemuliaan yang diterima oleh keturunan Arab, terutama yang berbangsa Sayid, meskipun kedatangan mereka pada zaman-zaman agak terakhir."(Hamka 1981:47).

Memang bila dibandingkan tahap-tahap yang lain, tahap ketiga ditandai dengan derasnya arus hijrah kaum Alawiyyin terutama ke India, Malaysia dan Indonesia. Menurut Asyatri, faktor pendorong hijrah pada masa ini – selain faktor-faktor pendorong yang telah disebutkan – adalah karena jumlah populasi kaum Alawiyyin yang berkembang sangat pesat. Tetapi dari berbagai faktor yang ada, kemungkinan naluri berhijrah, berdagang dan berdakwah merupakan tiga faktor utama pendorong kehijrahan mereka.

Tentunya pembawa masuk dan penyebar Islam di Indonesia bukan hanya golongan Alawiyyin saja, tetapi verifikasi mengenai pendapat yang mengatakan pembawa Islam bukan orang Arab perlu dilakukan, terutama pendapat yang mengatakan dari India. Selain karena pendapat tersebut berasal-muasal dari kolonialis Belanda, menurut sinyalemen sebagian sejarawan hal ini bertendensi politik.

Mengenai masalah di atas, yaitu negeri asal para penyebar Islam di Indonesia – yang sampai saat ini masih diperselisihkan oleh para sejarawan – Al Haddad di dalam bukunya Al Madkhalu Ila Tarikhi al - Islami memberi masukan yang cukup penting. Menurutnya, Campa dan Gujarat merupakan tempat transit dan mangakalnya para pedagang Arab dari Hadramaut, Oman, Teluk Parsi dan lain-lain dari semenjak sebelum Islam.

Bila mengingat hal ini, maka pendapat yang mengatakan para penyiar islam berasal dari Campa dan Gujarat tidak tepat, karena negeri tersebut hanya menjadi persinggahan bukan menjadi tujuan. Walaupun sebagian dari mereka telah menikah dengan wanita setempat atau juga yang tinggal dalam jangka waktu yang lama, tetapi semua itu tidak menghilangkan keakraban mereka – apalagi mengingat sistem patrilenear (mengambil keturunan dari garis ayah) yang diterapkan oleh orang Arab.

Seperti sebagian dari anggota Wali Sanga, walaupun mereka berasal dari Campa, Kamboja, tetapi mempunyai leluhur bangsa Arab. Al-Haddad, Abdullah bin Nuh, Hamid al-Qadri dan lain-lain memastikan bahwa para wali sanga, kecuali Sunan Kalijaga dan Sunan Muria, adalah keturunan Nabi melalui al-Muhajir dan masih termasuk golongan Alawiyyin. Nasab atau silsilah keturunan mereka dapat dilihat di beberapa buku yang mencantumkannya, seperti Imam al- Muhajir, Thariqah Menuju Kebahagiaan, C. Snouck Hugronje, Khidmatu al- Asyirah karya H. Ahmad as-Sagaf dan lain-lain.

Mazhab Para Penyebar Islam

Dengan mengetahui siapa sebenarnya kaum Alawiyyin, apa yang selama ini menjadi tanda tanya bagi sebagian sejarawan, yaitu mengenai mazhab apa yang masuk ke Indonesia akan terungkap atau minimal berkurang. Walaupun kaum Alawiyyin mencintai Ahlul Bait – apalagi bila mengingat bahwa Ahlul Bait adalah leluhur mereka sendiri - , tetapi hal ini bukan berarti ajaran Syiah.

" Pengaruh didikan Islam yang lambat-laun membentuk sikap-sikap Umat Islam di Indonesia menyintai Ahli-Bait Rasulullah bukanlah pengaruh ajaran Syi’ah, akan tetapi Ahlus Sunnah al Jama’ah. Menyintai Sayyidina Hasan dan Husein dan anak cucunya, disebabkan karena mereka adalah termasuk Ahli Bait Rasulullah. Seperti juga golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyintai para Sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, ’Ali, Thalhah, Zubair dan lain-lain Sahabat besar. Begitu cintanya kepada mereka sehingga selama beratus-ratus tahun lamanya para khatib mendoakan mereka pada tiap-tiap khotbah Jum`at . ini bukan pengaruh Syi`ah, akan tetapi termasuk ciri akhlak Ahlus Sunnah wal Jama`ah."(Saefudin Zuhri.1981:179-180)

pendapat yang mengatakan para penyebar islam di Indonesia dari Persi, tampaknya agar diasumsikan madzhab yang menyebar di Indonesia adalah madzhab Syiah. Walaupun mungkin diantara para penyebar islam terdapat orang-orang Persi – dalam jumlah kecil tentunya - ,tetapi masih terlalu jauh untuk menyimpulkan bahwa mazhab syiah turut berkembang di Indonesia. Dengan kata lain, bisa jadi terdapat pendakwah Syiah yang datang ke Indonesia, tetapi tidak berkembang dan hanya terbatas di kalangan tertentu.

Prof.Dr.H Aboebakar Aceh di dalam bukunya Sekitar Masuknya Islam Di Indonesia, justru mengkaitkan Alawiyyin dengan Syiah . " Bagi saya yang penting ialah bahwa kebanyakan para Alawiyyin itu adalah bermazhab Syi`ah, karena mereka mencintai Ali bin Abi Tholib atau sekurang-kurangnya mereka bersimpati dengan aliran ini. " (Aboebakar, 1985:35)

Pernyataan ini tidak dapat dibuktikan, baik melalui argumentasi yang kuat maupun fakta yang ada. Tetapi bila kaum Alawiyyin menyebarkan mazhab yang tidak seratus persen Syafii, hal ini –mungkin—masih dapat dibuktikan, walaupun secara mayoritas dan umum tak salah bila dikatakan Syafii.

Tetapi perlu dipertegas sekali lagi –para leluhur maupun kaum Alawiyyin yang datang menyebarkan Islam ke Indonesia dan yang ada saat ini , tidak menganut paham Syiah. Hal ini dapat dibuktikan melalui buku-buku karya mereka, atau juga mazhab yang dianut secara turun-temurun oleh mayoritas kaum Alawiyyin dimanapun mereka berada.

"Sayid Husein bin Ahmad Al-Qadri adalah seorang ulama penganut mazhab Syafi`i berasal dari Hadramaut, yang datang ke nusantara dengan tiga orang temannya yaitu Sayid Abubakar Al-Alaydrus, Sayid Umar Husein As-Saqaf, Sayid Muhammad bin Husein Al-Quraisy" (Muhd. Shaqir Abdullah 1985:50).

Hamka dalam kesimpulan mengatakan, " Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwasanya mazhab utama sejak permulaan adalah mazhab Syafii, dalam lingkungan ahli Sunnah wal jamaah, mazhab pegangan yang umum daripada orang arab dan keturunan arab di pantai Malabar Coromandel. Tersangat dalamnya pengaruh mazhab Syafii ini menjadi bukti yang tidak dapat diabaikan sebagai pelopor utama daripada penyiaran Islam di negeri Melayu ialah orang Arab. "(Hamka, 1981:53)

"Maka jelaslah bahwa bukan lantaran Syi`ah kalau umat islam Indonesia mencintai Ahlil Bait Rasulullah, menyintai Sayyidina Ali, Sayyidatina Fathimah, Hasan, Husen serta keturunannya. Karena ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama`ah maka umat islam di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang menyintai mereka seperti juga menyintai Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, `Umar dan` Ustman serta lain-lain sahabat, satu hal yang tidak diperlihatkan oleh pemeluk Syiah dimanapun mereka berada" (Saefudin Zuhri.1981:182)

Alawiyyin dan Pembaharuan Islam

Untuk menutup pembahasan mengenai sejarah panjang kaum Alawiyyin ini, akan disinggungkan sedikit mengenai peran mereka dalam "menyulut" gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Yang cukup aneh, walaupun sejarawan Belanda dan sebagian sejarawan kita membeberkan tentang masalah ini, tetapi sepertinya peran kaum Alawiyyin melalui organisasi Jamiat Khair belum terungkap. Padahal H Agus Salim pernah berkomentar mengenai organisasi ini sebagai berikut," Pada tahun 1904 atau 1905, khusus untuk mengatasi ekonomi lemah di Indonesia, beberapa orang Indonesia keturunan Arab dan beberapa orang Sumatra membentuk suatu organisasi gotong royong yang dinamakan Jamiat Khair dan hampir seluruhnya terdiri dari orang-orang keturunan Arab dan Sumatera Barat. Banyak anggota Boedi Oetomo dan Sarekat Islam adalah bekas anggota Jamiat Khair" (Muhammad al- Baqir. 1986: 52-53)

Suatu permasalahan yang mungkin masih belum diketahui secara luas sekaligus menenggelamkan nama Jamiat Khair, adalah mengenai tahun pendirian organisasi tersebut. Pada dasarnya Jamiat Khair berdiri pada tahun 1901 dan mendapat pengakuan legal dari pemerintah Belanda pada tahun 1905, tetapi karena mendapat pengawasan yang ekstra ketat – ditambah tidak boleh membuka cabang di luar Jakarta – maka pertumbuhannya tampak lamban.

Walaupun demikian organisasi modern pertama di Indonesia yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan ini, tidak berlebihan bila dikatakan turut berperan dalam memicu pembaruan dan nasionalisme. Kerena selain sebagai petransfer majalah-majalah berbahasa Arab," dari sini KHA Dahlan pemimpin pertama Muhammadiyah dan organisasi-organisasi terpelajar lain mengenal bacaan-bacaan kaum reform yang didatangkan dari luar negeri." ( L.Stoddard.tt.306)

"Reformisme Islam masuk pada akhir abad lalu dan awal abad ini di Indonesia. Hal ini terlaksana dengan 3 cara. Pertama-tama masuknya Reformisme ke Indonesia melalui masyarakat Arab yang bermukim di Indonesia," begitulah kesimpulan APE Korver di dalam bukunya Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil.

Mengenai ikut andilnya kaum Alawiyyin terutama melalui Jamiat Khair dalam – mungkin kata yang tepat – mempercepat proses lahirnya reformisme dan nasionalisme tak dapat disangkal lagi. Karena begaimanapun juga sejarah telah mencatat sekalipun belum terungkap sampai seberapa peran mereka.

Semoga saja permasalahan yang mungkin baru bagi sebagian sejarawan ini ,memberikan masukan yang bermanfaat untuk membuka tabir sejarah kita yang sebagian masih"terselubung", diperselisihkan dan dipertanyakan.

DAFTAR PUSTAKA

Aboebakar Aceh, Prof.Dr.1985.Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo Ramadhani.

Abdullah bin Nuh dan Muhammad Dhiya Syahab.1985.al-Imam al Muhajir. Jedda: Dar asy Syarq.

Abdullah bin Nuh ,K.H.1989. Keutamaan Keluarga Rasulullah saw. Semarang: CV Toha Putra.

Asyathiri, Sayid Muhammad Ahmad.1986. Sekilas Sejarah Salaf Alawiyyin. Pekalongan . Yayasan Azzahir.

Hamka,Dr.1981.Sejarah Umat Islam (jilid IV). Jakarta. Bulan Bintang.

Al- Haddad, Sayyid Alwi bin Tohir.1985.al- Madkhalu Ila Tarikhii al –Islam. Jeddah. Alam Ma’rifah.

Hamid al-Qadri,Mr. 184.C.Snouck Hugronje Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta. Sinar Harapan.

Kuntowijoyo,Dr. 1991.Paradigma Islam. Bandung.Mizan

Muhammad bin Abûbakar asy-Syillî Bâ ‘Alawî, Al-Masyra’ ar-Rowî fî manâqibis Sâdatil Kirômi Âli Abî ‘Alawî, Juz ke-1, Cet. ke-2, 1402H/1982,

Muhammad Shaqir Abdullah, H.W.1985. Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara. Solo.Ramadhani.

Noer, Deliar.1980.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.Jakarta.LP3ES

Pijper, G.F.1985.Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta.UI Press.

Saefudin Zuhri, KH.1981.Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung. Al-Maarif

Stoddard.tt. The New World Of Islam (edisi bahasa Indonesia). Dunia Baru Islam.

Sayid Abdullah Haddad, Alalamah .1986.Thariqah Menuju Kebahagiaan. Bandung. Mizan.

Dan lain- lain

Original Source written by Abu Jaffar and Abdurahman Haddad

Retyped and Edited by A.S Syahab in Flower City, 2001

sakran_baalawi@yahoo.com

Tidak ada komentar: